
Para pemimpin dunia, sektor swasta, masyarakat sipil dan komunitas di berbagai dunia bersatu untuk mengatasi peluang dan resiko yang ditimbulkan oleh AI dan teknologi digital lainnya di acara Internet Governance Forum (IGF), Riyadh, pada 2024 lalu. (Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Perang yang masih menjadi salah satu pemicu pencemaran informasi di internet, terutama sejak perang antara Israel-Palestina yang meletus pada 2023 lalu memberikan keragaman misinformasi dan disinformasi nya dalam isu internasional. Pada April 2025, konflik antara India dan Pakistan kembali mencuat. Konflik antara wilayah Kashmir di masing-masing negara memang masih mengakar dalam selama puluhan tahun. Setelah pada 22 April Pakistan menyerang wilayah Kashmir yang berada di bawah India, India meluncurkan rudal ke Pakistan dan wilayah Kashmir yang dikelola Pakistan. Pesawat India telah menyerang kota-kota besar Pakistan dan instalasi militernya, dan saling menuduh bahwa Pakistan juga meluncurkan rentetan rudal dan pesawat nirawak ke kota-kota dan fasilitas militer India.
World Economic Forum menempatkan India sebagai negara yang paling berisiko terhadap misinformasi dan disinformasi karena peristiwa ini. Kabar palsu bahkan sampai mempengaruhi jagad digital di Indonesia. Contohnya, di X banyak tersebar video aksi militer Pakistan yang diklaim berhasil menembak pesawat Rafale milik militer India. Padahal, video yang beredar berasal dari potongan permainan video.
Disinformasi yang menyebar selama konflik militer ini dapat menjadi perhatian bagi pihak di seluruh dunia untuk mengatasi permasalahan ini. Kita harus mengajak banyak pemangku kepentingan di industri digital, bukan hanya pemerintah antarnegara.
Baru-baru ini beberapa Universitas di Indonesia juga menandatangani perjanjian dengan media Rusia, Sputnik, untuk melakukan praktik jurnalistik. Ini adalah bentuk nyata dari peran akademis yang mendukung peningkatan jurnalisme yang kredibel.
Google, sebagai platform teknologi raksasa terbesar, memberikan solusi dengan mencantumkan sumber informasi yang paling kredibel untuk ditampilkan paling atas di mesin pencari Google. Namun, masih kurang maksimal karena sekarang jawaban dari AI biasanya yang muncul paling awal atas pertanyaan yang kita ajukan di situs pencarian.
Di Filipina, para pelaku masyarakat sipil seperti kelompok media dan lembaga akademis memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan integritas fakta. Mereka meluncurkan inisiatif pengecekan fakta, kampanye literasi digital, dan program pendidikan pemilih. Namun, tanpa dukungan pemerintah yang kuat, kerangka hukum yang komprehensif, dan perubahan sistematik, solusi ini tidak akan berdampak besar dan memiliki dampak jangka panjang.
Kombinasi dari kebijakan pemerintah dan peran dari pihak pendukung dapat mensinergikan penangkalan hoaks. Dengan melakukan pemeriksaan fakta dan verifikasi sumber terlebih dahulu, kita akan terhindari dari bahaya hoaks dan menghindari permasalahan-permasalahan lain yang mungkin bisa ditimbulkan.
Hoaks geopolitik yang dapat mengganggu hubungan internasional dapat dimulai dari kita, sebagai masyarakat global untuk memiliki karakter yang kritis dan tidak bias terhadap sesuatu. Pilihan ini bukan sekadar kebijakan, melainkan manifesto untuk masa depan. Sudahkah Anda bersiap?