zetizen

Membangun Ketahanan Negara Terhadap Hoaks Geopolitik

Explore
Source: The White House

Lantas, ke arah mana implementasi AI sebaiknya bergerak? Apakah negara sebaiknya hanya menjadi regulator pasif  atau fasilitator jangka panjang?

Kerangka Hukum, Kebijakan, dan Penegakan

James Comy, mantan direktur FBI, menjelaskan bahwa lingkungan politik yang terjadi saat ini bahwa fakta-fakta mendasar masih diperdebatkan, kebenaran mendasar dipertanyakan, berbohong dianggap normal, dan perilaku tidak etis diabaikan, dimaafkan, atau dihargai.

Data menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, warga AS difitnah, dipecat, didakwa, bahkan dipenjara karena menyuarakan pendapat mereka. Bahkan, baru-baru ini AS melakukan pencabutan visa mahasiswa internasional yang terlibat dalam protes dan dan dukungan terhadap Palestina. Kondisi ini tidak hanya terjadi di AS, namun di seluruh dunia.

Sejumlah negara sudah melakukan kebijakan untuk mengatasi hoaks dari pendekatan hukum, penjatuhan sanksi, hingga literasi. Misalnya, Brazil bertindak dengan membentuk gugus tugas pemerintah, rancangan undang-undang, dan kerjasama dengan sejumlah platform. Fokusnya adalah mengatasi misinformasi pemilu dengan pemberian sanksi terhadap pelaku.

Uni Eropa menjadi pelopor dalam mengesahkan regulasi disinformasi yang dibuat pada 2018. Instrumen yang menjadi kunci meliputi pengurangan perilaku manipulatif dan akun palsu, dukungan akes peneliti terhadap data perusahaan penyedia platform, dan peningkatan transparansi iklan politik. Undang-Undang Layanan digital juga diresmikan untuk memperkuat keamanan daring dan mencegah konten ilegal dan berbahaya.

Di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 28 ayat (3) yang mengatur penyebaran informasi bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat menjadi dasar hukum utama untuk menangani penyebaran berita hoaks. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga secara aktif menyediakan layanan pengaduan konten negatif seperti adukonten.id.

Selain tindakan penegakan hukum, peran pemerintah dalam menanggulangi hoax adalah menyediakan sumber informasi kredibel, dan melakukan kolaborasi dengan media massa untuk mendorong praktik jurnalisme yang berintegritas.

Literasi Digital

Masyarakat global harus selalu berhati-hati terhadap informasi yang terjadi di tengah konflik militer dan perang saat ini. Ketika konten mengarah kepada ujaran kebencian, terhadap suatu suku, ras, maupun kelompok agama tertentu, kita harus waspada dengan melakukan verifikasi data. Jangan sampai mudah terpengaruh emosi, dan dimanipulasi oleh persepsi.

Digitalisasi yang semakin cepat, dan banyak masyarakat yang terpapar media sosial, menjadi tugas negara untuk mengupayakan peningkatan literasi digital. Data UNESCO berbicara sebanyak 763 juta orang dewasa di dunia ternyata kekurangan literasi digital. Secara singkat, literasi digital adalah kecakapan untuk menggunakan perangkat teknologi, informasi dan komunikasi, secara kritis, kreatif, serta inspiratif.

Literasi digital sangat diperlukan bagi setiap masyarakat global untuk berkomunikasi, mencari pekerjaan, dan memperoleh pendidikan. Forum Ekonomi Dunia menganggap literasi digital sebagai bagian dari perangkat keterampilan abad ke-21. Namun, banyaknya sistem pendidikan yang kurang baik, dari segi infrastruktur dan peralatan teknologi menjadikan literasi digital sangat mahal.

Dalam pengukuran tingkat literasi digital masyarakatnya, Indonesia hanya memiliki sejumlah 62%. Korea Selatan menyentuh angka 97% dan rata-rata negara di ASEAN sudah mencapai 70%. Oleh karena itu, perlu dilakukan percepatan untuk mengejar tingkat literasi digital di Indonesia, baik untuk yang masih sekolah maupun yang sudah dewasa.

Empat pilar dalam literasi digital meliputi digital skill, digital safety, digital culture, dan digital etic dapat ditingkatkan agar masyarakat tidak lagi menjadi korban kejahatan digital. Saat ini sudah ada lebih dari 120 organisasi yang terlibat dalam Gerakan Nasional Literasi Indonesia (GNLD). Bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun kerja sama dari semua pihak dibutuhkan untuk membangun konsumen pintar.

Kolaborasi Multilateral dan Diplomasi Digital

Permasalah disinformasi yang meningkat seiring tensi geopolitik dan keamanan yang memanas di berbagai kawasan dapat melibatkan banyak pihak, tidak hanya negara, melainkan masyarakat, akademisi, perusahaan teknologi media sosial, dan  perusahaan AI.

Pelaksanaan Internet Governance Forum (IGF) diselenggarakan oleh PBB untuk menyusun kebijakan publik digital di seluruh dunia. Dalam penyelenggaran ke-19 tahun 2024 lalu, IGF berfokus pada memajukan hak asasi manusia dan inklusi di era digital. Kedua, meningkatkan kontribusi digital untuk perdamaian, pembangunan, dan keberlanjutan. Ketiga, memanfaatkan inovasi dan menyeimbangkan risiko di ruang digital. Terakhir, meningkatkan tata kelola digital.  Forum internasional ini diharapkan menjadi diskusi yang berkelanjutan, dapat memberikan kontribusi nyata terhadap masalah hoaks, meskipun bukan menghasilkan rekomendasi yang mengikat.

Halaman: