
Zetizen - Hoaks merupakan salah satu permasalahan umum yang paling sering ditemui di internet dan media sosial. Mengutip dari website resmi Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia (komdigi.go.id), sebanyak lebih dari 1,9 ribu konten hoaks telah tersebar di media sosial sepanjang tahun 2024. Tingkat penyebaran hoaks yang tinggi di media sosial tentu disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya fenomena echo chamber yang didukung oleh sistem algoritma media sosial.
Echo chamber merupakan sebuah fenomena dan tantangan baru bagi kita sebagai masyarakat digital. Tidak hanya mempercepat penyebaran hoaks, echo chamber dapat mempengaruhi pemikiran kita serta memperkuat arus polarisasi di media sosial. Untuk menanggulanginya, kita perlu mengenal lebih dalam mengenai arti dan dampak dari fenomena echo chamber di media sosial.
Apa itu Echo Chamber?
Mengutip dari GCFLearn (2019), Echo chamber atau ruang gema dapat diartikan sebagai sebuah keadaan dimana seseorang hanya dipertemukan dengan berbagai informasi atau opini yang sama atau memperkuat pandangan mereka sendiri. Ruang gema ini dapat mendistorsi perspektif seseorang sehingga membuat orang itu kesulitan untuk menerima dan mempertimbangkan opini atau pandangan orang yang berlawanan dengan pandangannnya.
Echo chamber punya potensi untuk menciptakan dan menyebarkan misinformasi di media sosial. Hal ini disebabkan karena perluasan echo chamber di media sosial kebanyakan dipicu oleh bias informasi, sebuah kecenderungan yang membuat seseorang lebih menyukai sebuah informasi yang memperkuat keyakinannya.
Echo chamber dapat terjadi karena personalisasi konten dari sistem algoritma media sosial yang menyajikan konten dan informasi bersifat homogen yang didapat berdasarkan preferensi dan jejak digital pengguna. Personalisasi konten tersebut dapat mengisolasi pengguna dari berbagai informasi dari keberagaman informasi dari berbagai sudut pandang. Hal tersebut dinamakan sebagai filter bubble atau gelembung filter.
Perbedaan Echo Chamber dan Filter Bubble
Meskipun echo chamber dan filter bubble merupakan contoh fenomena yang sama-sama terjadi akibat dari personalisasi konten yang dilakukan algoritma media sosial, sebenarnya kedua fenomena ini mempunyai arti yang cukup berbeda.
Filter bubble merupakan sebuah situasi dimana pengguna terisolasi dari berbagai informasi yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengetahui suatu kebenaran, sedangkan echo chamber merupakan sebuah fenomena dimana pengguna terpapar oleh sebuah informasi yang sama secara terus menerus.
Jika dilihat berdasarkan pengertiannya, kedua fenomena ini mempunyai kaitan yang cukup erat. Ketika seseorang sudah terisolasi dan masuk ke dalam filter bubble, maka orang itu otomatis juga sudah berada dalam echo chamber. Hal tersebut membuat orang tersebut secara otomatis juga akan mengonsumsi informasi atau opini dengan nada yang sama secara terus menerus tanpa ia sadari.
Dampak Negatif Echo Chamber
Fenomena echo chamber dapat menjadi ancaman bagi masyarakat digital. Berikut dampak negatif yang dapat dihasilkan oleh fenomena echo chamber di media sosial.
1. Distorsi Perspektif
Terjebak dalam ruang gema dan terisolasi dari keberagaman informasi dapat membuat seseorang mengalami distorsi perspektif. Menurut KBBI, distorsi dapat diartikan sebagai penyimpangan, perubahan, atau pemutarbalikan suatu fakta.
Seseorang yang mengonsumsi sebuah informasi atau opini yang bersifat homogen secara terus menerus dapat mempengaruhi cara berpikir orang tersebut dan merubah cara pandangnya, atau yang bisa disebut sebagai distorsi perspektif.
Distorsi perspektif membuat orang berpikir bahwa informasi yang diterimanya merupakan informasi yang paling benar sehingga membuat orang tersebut sulit untuk menerima informasi baru yang tidak sesuai dengan pandangannya.
2. Bias Kognitif
Setelah mengalami distorsi perspektif, korban echo chamber juga punya kecenderungan untuk mengalami bias kognitif. Menurut Permana (2021), bias kognitif merupakan sebuah bias sistematis yang muncul dari cara orang memproses informasi dalam pengambilan keputusan.
Bias kognitif punya peranan penting dalam penyebaran hoaks di media sosial. Hal ini disebabkan karena orang yang mengalami bias kognitif punya kecenderungan untuk menyukai, mencari, dan mengingat informasi yang sesuai dengan keyakinannya (Nastiti et al., 2020). Selain itu, bias kognitif seringkali membuat orang mengabaikan dan menyembunyikan fakta dan argumentasi yang berlawanan dengan argumentasinya (Naja & Kholifah, 2020).
3. Polarisasi
Menurut Wisnuhardana (2018), echo chamber memungkinkan setiap individu untuk berbagi pandangan, sikap, dan preferensi yang sama mengenai suatu topik. Apabila sekelompok individu terus membagikan dan memperkuat pandangan satu sama lain, polarisasi menjadi salah satu hal yang terelakkan. Menurut KBBI, polarisasi memiliki arti sebagai pembagian atas dua bagian atau kelompok orang yang berlawanan.