zetizen

Tertawa yang Menyesatkan : Ketika Meme Jadi Media Penyebar Hoaks

Explore
Source: Grid.ID

Zetizen - Di tengah banjir informasi digital saat ini, meme telah menjelma sebagai bentuk komunikasi yang paling cepat dikonsumsi dan disebarluaskan. Gambar disertai teks lucu, ekspresi tokoh publik dipelintir dalam situasi absurd, atau kutipan nyeleneh yang mengundang tawa, semuanya tersebar hanya dalam hitungan detik.

Namun, di balik humor itu, tak jarang tersembunyi narasi palsu yang dimaksudkan untuk memanipulasi opini publik.

Meme dan Hoaks : Kombinasi Berbahaya

Meme telah menjadi bagian dari budaya digital yang sulit dipisahkan dari keseharian pengguna media sosial. Meme yang pada awalnya diciptakan sebagai hiburan visual belaka. Namun kini, meme juga digunakan sebagai alat propaganda dan penyebar hoaks oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Banyak penerima informasi tersebut tidak menyadari bahwa gambar disertai kutipan yang tampak ringan itu bisa menyimpan pesan bohong yang tersisip di dalamnya, apalagi jika melibatkan tokoh politik, agama, atau isu sosial sensitif.

Beberapa kasus di Indonesia memperlihatkan bagaimana meme digunakan dalam penyebaran hoaks:

  • Mantan Presiden ke-8, Pak Jokowi menjadi sasaran beberapa meme menyesatkan, mulai dari foto yang diedit seolah ia makan daging babi (faktanya beliau sedang makan sate ayam), hingga foto yang menampilkan stupa Borobudur diedit dengan wajahnya. Bahkan meme terakhir ini berujung proses hukum karena dianggap melecehkan simbol agama.

  • Tokoh publik seperti lm. Gus Dur, Ridwan Kamil, dan Mantan Kapolri Tito juga pernah dicatut dalam meme berisi kutipan palsu atau hoaks, yang digunakan untuk menggiring opini menjelang momen politik.

  • Meme “kelepon tidak Islami” sempat viral karena mengklaim makanan tradisional ini tak disebut dalam Al-Qur’an. Meski terdengar lucu dan banyak yang mempercayainya, hal ini menunjukkan bagaimana meme bisa menyesatkan bahkan dalam isu sederhana.

  • Kasus Ratna Sarumpaet juga diperparah oleh meme berisi hoaks kala itu. Saat ia mengaku dianiaya, meme berisi wajah lebam dan sindiran menyebar luas, ikut memperkuat narasi palsu sebelum kebohongannya terungkap.

Dengan sekali unggah dan ribuan penyebaran ulang, meme hoaks bisa membentuk opini publik secara cepat. Dengan berkedok visualisasi lucu dan menarik, publik kerap tak merasa perlu memverifikasi isi konten tersebut.

Apakah Ada Survei tentang Hoaks dalam Meme?

Sayangnya, hingga kini belum ada survei nasional maupun internasional yang secara khusus mengukur tingkat penyebaran hoaks dalam meme. Sebagian besar kajian masih bersifat kualitatif, memetakan pola serta dampak sosial tanpa data statistik yang pasti.

Namun, survei Masyarakat Telematika Indonesia mencatat bahwa 92,4% responden menyebut media sosial sebagai saluran utama hoaks, terutama isu SARA dan politik. Meski tidak merinci bentuk meme secara eksplisit, seperti yang diketahui bahwa meme merupakan jenis konten visual yang paling sering dikonsumsi dan dibagikan oleh warganet.

Lembaga seperti Komdigi, Mafindo, Turnbackhoax.id rutin mengklarifikasi meme-meme yang menyebarkan informasi keliru. Namun sayangnya, klarifikasi sering kali tidak secepat penyebaran hoaks.

Literasi Baru di Era Meme

Data dari YPulse menunjukkan bahwa 75% anak muda usia 13–36 tahun rutin membagikan meme. Bahkan di kelompok usia aktif 13–17 tahun, hampir 80% aktif mengonsumsinya setiap hari. Artinya, generasi muda yang menjadi tulang punggung masa depan demokrasi adalah yang dominan secara digital menjadi target dan korban paling rentan hoaks dalam meme ini.

Sudah saatnya dibutuhkan penguatan bentuk literasi baru, yaitu literasi visual. Pengguna internet harus terbiasa bertanya : apakah ini gambar asli? Apakah kutipan ini benar-benar diucapkan? Siapa dan apa tujuan dari pembuatan meme ini? Ini mencakup kemampuan menggunakan alat bantu seperti reverse image search, membandingkan sumber, dan mengenali akun penyebar hoaks.

Halaman: