zetizen

Memerangi Hoaks Kekerasan Seksual: Antara Literasi Digital dan Perlindungan Korban

Explore
Source: canva.com

Zetizen - Maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak hanya menjadi krisis kemanusiaan, tetapi juga kian rumit dengan beredarnya hoaks yang menyertai kasus-kasus tersebut. Sepanjang tahun 2025, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 6.767 kasus kekerasan, dengan mayoritas korban adalah perempuan. Angka tertinggi tercatat di Jawa Timur (713 kasus), diikuti oleh Jawa Barat (612), dan Jawa Tengah (597) (Law-Justice.co, 2025).

Sayangnya, penyebaran informasi palsu atau hoaks tentang kekerasan seksual justru memperburuk situasi. Tidak hanya menyesatkan publik, hoaks dapat merusak reputasi individu yang tak bersalah, memperparah stigma terhadap korban, hingga menghambat penegakan hukum secara adil.

Studi Kasus yang Mengguncang Publik

Dua kasus hoaks menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, video yang diklaim memperlihatkan seorang guru di Grobogan melakukan pelecehan terhadap muridnya ternyata palsu. Investigasi menunjukkan video tersebut hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI) dan sosok dalam video bukanlah guru dari Grobogan, melainkan orang lain yang tidak terkait (Komdigi, 2025).

Kasus lainnya terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), di mana seorang mahasiswa berinisial RAN menyebarkan tuduhan palsu terhadap pengurus BEM FMIPA. Setelah penyelidikan, tidak ditemukan korban maupun pelapor. RAN kemudian mengakui motifnya karena dendam pribadi setelah ditolak masuk komunitas milik MF, orang yang ia tuduh (Kompas, 2023).

Dampak Serius Hoaks Kekerasan Seksual

Penyebaran hoaks dalam konteks kekerasan seksual menimbulkan berbagai konsekuensi serius, di antaranya:

  • Kerusakan reputasi dan trauma psikologis bagi individu yang dituduh tanpa dasar.

  • Menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi seperti media, penegak hukum, dan pemerintah.

  • Gangguan proses hukum, karena narasi palsu mempersulit identifikasi korban dan pelaku sesungguhnya.

  • Polarisasi sosial dan kepanikan massal, yang mengancam solidaritas dan keamanan masyarakat.

Mengapa Literasi Digital dan Perlindungan Korban Harus Diperkuat?

Melawan hoaks bukan hanya soal teknologi, melainkan soal keberpihakan pada kebenaran dan korban. Sayangnya, masih banyak korban enggan melapor karena takut disalahkan, distigmatisasi, bahkan dikriminalisasi. Layanan perlindungan korban seperti UPTD PPA juga belum tersedia merata di semua daerah.

Solusi yang ditawarkan bukan hanya pada aspek penegakan hukum, tetapi juga edukasi:

  • Meningkatkan literasi digital dan kemampuan masyarakat memilah informasi.

  • Mendorong kolaborasi antarlembaga dan komunitas untuk deteksi dan respon cepat terhadap hoaks.

  • Mengedepankan pendekatan keadilan restoratif yang menempatkan korban sebagai prioritas, bukan sekadar pelengkap prosedural.

Saatnya Media dan Publik Bergerak Bersama

Media massa memiliki tanggung jawab penting dalam menjaga akurasi pemberitaan, terutama terkait isu-isu sensitif seperti kekerasan seksual. Narasi yang empatik, faktual, dan berpihak pada korban sangat dibutuhkan untuk membangun kepercayaan publik.

Halaman: