zetizen

Hoax dalam konteks agama : Tantangan di era modern

Explore
Source: Komdigi.go.id

Zetizen - Hoax adalah informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menyesatkan atau dengan tujuan tertentu. Mengutip penjelasan Anton Ramdhan dari bukunya Jurnalistik Islam,  “Hoax adalah berita palsu dan upaya penyebaran berita palsu agar para pembaca percaya terhadap berita tersebut.” Sedangkan pendapat lain mengatakan, “Hoax adalah berita yang telah dimanipulasi dan diubah dengan maksud dan tujuan tertentu.” (Wang, 2020).

Pada kurun waktu 2020-2022 kita berada di dalam situasi pandemi covid-19. Masyarakat harus hidup dalam kekhawatiran dan ketidakpastian selama kurang lebih 2 tahun. Situasi ini membuat penyebaran informasi palsu semakin massive dan mudah dipercaya banyak orang.  Salah satu isu pada saat itu yang banyak tersebar adalah isu terkait Covid-19 yang juga sering kali dikaitkan dengan aspek agama.

Hoax terkait Kehalalan Vaksin : Ketika Keyakinan Dimanfaatkan

Salah satu hoax yang sempat viral adalah terkait kehalalan vaksin Sinovac dari Tiongkok. Sempat beredar informasi bahwa vaksin sinovac dari Tiongkok mengandung bahan yang tidak halal. Kabar ini menyebar luas dan menimbulkan polemik serta keraguan terhadap vaksin terutama di kalangan masyarakat muslim.

Namun segera setelah kabar ini menyebar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) langsung mengeluarkan pernyataan bahwa info tersebut masuk ke dalam disinformasi atau informasi yang salah. Sementara itu MUI juga langsung  mengeluarkan fatwa bahwa vaksin sinovac itu halal dan suci mulai dari bahan hingga prosesnya.

Hoax yang beredar ini sempat mempengaruhi keputusan yang diambil terutama keputusan masyarakat muslim untuk menunda bahkan menolak vaksinasi. Padahal keputusan tersebut terbuat dari informasi yang salah dan justru dapat membahayakan diri sendiri.

Isu Iklim dan kaitannya dengan Agama

Isu yang berkaitan tentang Agama tidak hanya muncul di tengah pandemi. Dalam konteks permasalahan iklim isu hoax yang serupa juga terjadi. Tidak hanya isu terkait covid-19 yang mengaitkan dengan agama.

Menurut survey FPCI hampir sebagian besar hasil dari responden lebih percaya kepada pemuka agama terkait isu iklim. Dikutip dari tempo.com “..dengan melibatkan 3.000 responden muslim dan 100 tokoh agama Islam. Sebanyak 22 persen responden mengatakan paling mempercayai pemuka agama menyangkut isu iklim. Jumlah itu lebih tinggi daripada 19 persen responden yang paling percaya pada aktivis lingkungan…”

Data tersebut mencerminkan betapa kuatnya peran pemuka agama dalam membentuk opini publik. Bahkan dalam isu-isu ilmiah. Ini bisa menjadi bentuk kekuatan yang positif apabila para pemuka agama dilibatkan dalam kampanye penyadaran sperti kampanye anti hoax. Namun, jika kekuatan ini disalahgunakan oleh orang tak bertanggungjawab kekuatan ini akan menjadi celah bagi penyebaran hoax dengan dalih agama.

Media Sosial dan Rendahnya Literasi Digital

Fenomena ini diperparah dengan massive nya penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi modern. Berdasarkan data dari databoks yang dimuat dalam artikel RRI , pengguna media sosial per tahun 2024  ada 191 juta pengguna atau sekitar 73,7% dari populasi. Data ini menunjukkan masifnya penggunaan media sosial saat ini. Namun sayangnya penggunaan media sosial yang massive ini tidak diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang cukup.

Meski skor literasi digital Indonesia mengalami kenaikan dari 43,18 (2023) menjadi 43,34 (2024). Namun nyatanya masih banyak pekerjaan rumah yang kita miliki. Misalnya , kita masih sering menjumpai broadcast dengan sumber yang tidak jelas disebar di grup whatsapp keluarga besar. Ini menunjukkan masyarakat masih memiliki kemampuan yang cukup baik untuk memverifikasi informasi.

Solusi: Kolaborasi, Edukasi dan Regulasi

Kaum muda sebagai generasi yang sudah lebih paham dan melek akan teknologi bisa menjadi agen perubahan dengan mulai mengedukasi orang-orang terdekat sepert keluarga, tetangga, teman tentang bagaimana cara membedakan informasi yang valid dan salah.

Kampanye anti hoax bisa kita lakukan secara online dan offline. Kegiatan kampanye secara online bisa dilakukan di media sosial dengan saling sharing info terkait bagaimana melawan hoax, membantu para komunitas anti hoax menyebarluaskan kampanye mereka.

Dan untuk kegiatan secara offline dapat kita lakukan dengan kegiatan seperti pelatihan dan diskusi terbuka di pemukiman warga bersama para warga setempat. Kita juga dapat berkolaborasi dengan para akademisi, pemuka agama, tokoh masyarakat sehingga mereka dapat membantu kita menyampaikan pesan untuk melawan hoax dari berbagai sudut pandang.

Selain itu kita juga bisa sekaligus memperkenalkan situs pengecekan fakta yang dibuat oleh komunitas mafindo, yaitu mafindo.or.id atau mengenalkan kanal resmi yang dibuat oleh Kominfo untuk memverifikasi kebenaran info yang beredar.

Upaya melawan hoax ini tidak dapat dilakukan hanya dari sisi masyarakat. Pemerintah juga harus ikut berperan dalam upaya ini. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan regulasi dan sanksi yang tegas  kepada para penyebar hoax, fitnah atau informasi menyesatkan lainnya agar dapat memberikan efek jera bagi mereka.

Halaman: