
Zetizen - Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah mengangkat kisah Alin (Amanda Rawles) seorang mahasiswi kedokteran yang tengah dijepit oleh masa depan yang tidak semulus bayangan. Ketika beasiswanya terancam dicabut, ia terpaksa kembali ke rumah, ke lingkungan di mana rasa asing justru lebih terasa daripada kenyamanan.
Disutradarai oleh Kuntz Agus dan diproduksi Rafi Film, menempatkan penonton pada persimpangan antara cinta, penyesalan, dan pertanyaan yang terlontar dari hati seorang anak: “bagaimana jika ibuku tidak menikah dengan ayah?”
Kepulangannya membuka kembali luka lama yang tak pernah benar-benar pulih. Ia bertemu kembali dengan ibunya, Wulan (Sha Ine Febriyanti), sosok yang menua bersama kelelahan dan pengorbanan; serta ayahnya, Tio (Bucek Depp), yang lebih banyak absen dalam kehadiran emosional.
Alin tak hanya kembali ke rumah fisik, namun juga kembali pada riuh emosi yang selama ini ia abaikan. Suasana sepi itu kemudian pecah saat ia menyadari hubungan yang tak pernah sederhana.
Plot bergerak cepat, dari ruang tamu bocor ke tangga berderit, semuanya menyimpan rahasia yang siap dipulihkan. Kesadaran Alin mengalir lewat buku harian Wulan, sebuah artefak kecil yang menggerus citra sempurna yang selama ini ia pegang.
Melalui alur dua waktu, penonton diajak menyusuri perjalanan Wulan: dari gadis muda cerdas dengan impian besar, hingga menjadi istri karena keterpaksaan, bukan karena cinta. Ia menjalani hidup dalam keterbatasan, membesarkan anak-anak, memperbaiki atap bocor, dan tetap menyekolahkan Alin hingga kedokteran.
Ketegangan mencapai puncak saat Alin akhirnya bertanya, “Ibu, kenapa mau menikah dengan Ayah?”—dialog yang mencairkan pertahanan dua generasi. Bagi Wulan, pernikahan adalah jalan sunyi yang ia pilih untuk bertahan, bukan untuk bahagia.
Alin menolak menjalani hidup yang dibentuk oleh pilihan masa lalu ibunya. Dengan tenang, Wulan menjawab bahwa meski pernikahannya jauh dari ideal, justru itulah yang membentuk perjalanan hidup mereka.
Sumber: Instagram @andaiibu
Puncak emosional film ini tergambar dalam satu adegan simbolik: Alin dan Wulan memperbaiki atap bocor bersama, basah oleh hujan, menggunakan alat seadanya. Alin memutuskan turut membantu bukan untuk niat memperbaiki, tetapi untuk memahami Wulan yang selama ini diam.
Di akhir cerita, Alin duduk bersama ibu dan adik-adiknya. Terdengar lirih, “aku minta maaf,” bukan dari Wulan, bukan pula dari Alin, melainkan dari kebersamaan yang lahir dalam kesadaran.
Mereka berada dalam ruang itu, rumah yang dulunya menjadi saksi luka—sekarang menjadi tempat berdamai.
Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah bukan hanya film tentang penyesalan, melainkan perjalanan membebaskan diri dari bayang-bayang pilihan orang tua, yang sering dianggap benar, namun menimbulkan beban.
Dengan sentuhan sinematik yang kuat—visual rumah bocor, buku harian sebagai simbol memori, dan dialog hening di malam hari—film ini menjadi pengingat bahwa cinta ibu tak selalu datang dengan pelukan hangat, tapi lewat pengorbanan yang nyaris tak terdengar.