
Zetizen - Amira (Michelle Ziudith) memulai segala sesuatunya dengan kehidupan yang terlihat sempurna: pekerjaan, cinta, dan harapan. Namun, semuanya runtuh ketika sebuah pengkhianatan menghancurkan kepercayaan diri dan keluarganya—menyisakan serpihan air mata dan kerinduan akan keselamatan.
Film ini dibuka dengan adegan Amira yang hampir kehilangan arah, rasa putus asa menelan dirinya hingga nyaris menyerah. Ia pun memilih melangkah menuju Tanah Suci, bukan hanya sebagai pengungsi, tetapi sebagai panggilan untuk mencari kembali makna hidup dan ibadah yang sempurna.
Dari ritual tawaf hingga doa di hadapan Ka'bah, Amira digambarkan larut dalam ketenangan. Sebuah ketenangan yang tak hanya menyejukkan, tetapi juga perlahan menenangkan luka-luka terdalam yang tak pernah ia bagi kepada siapa pun.
Di tanah yang suci itu, Amira mulai bertemu sosok-sosok pendamping—Amel (Tissa Biani), sahabat yang bijak; Barra (Arbani Yasiz), sosok yang menguatkan; serta sesama jamaah yang ikhlas berbagi kisah dan harapan. Mereka bukan hanya teman seperjalanan, tetapi juga cermin bagi Amira untuk menatap dirinya sendiri dan menemukan kekuatan yang lama terkubur. Interaksi ini menghadirkan nuansa keikhlasan, bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dari mengungsi, melainkan dari ketegaran membuka hati kembali.
Adaptasi dari novel best-seller karya Asma Nadia, film ini menggambarkan keresahan kaum perempuan modern yang tiba‑tiba dihadapkan pada krisis eksistensi. Disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu dan diproduksi VMS Studio, film ini menyajikan perjalanan batin tanpa menggurui. Perubahan Amira ditampilkan dalam nuansa sunyi yang sendu, penuh pengharapan, bukan lewat dramatisasi yang berlebihan.
Pandangan kamera terkadang mengarah ke pertemuan Amira yang kosong di awal cerita, namun perlahan menghilang saat ia mengucap doa dan bersimpuh di depan Ka'bah. Soundtrack hadrah lembut dengan efek bisikan zikir menghadirkan intensitas hati yang tidak terbaca oleh kata—menjadi alat kuat dalam menuturkan perubahan tanpa dialog panjang.
Puncaknya terjadi saat Amira menghadapi pilihan: kembali ke kehidupan lama yang penuh luka atau menempuh jalan baru yang lebih spiritual meski tidak mudah. Ketika ia melafalkan Al-Fatihah bersama Amel dan Barra, suara gemerincing cincin di tangan Amel menjadi simbol kelahiran kembali.
Adegan itu lirih namun menggetarkan, menghadirkan 5W+1H bukan lewat dialog, melainkan lewat isyarat sederhana: air mata yang menetes, tangan gemetar saat membaca doa, dan pelukan tak terganti saat Amel mengatakan: “Tidak ada doa yang tidak dijawab.” Pesan ini diperkuat oleh produser Shalu Samtani dan penulis novel Asma Nadia, yang berharap film ini menjadi “obat penyemangat” bagi perempuan yang terluka dan kehilangan arah.
Dalam Assalamualaikum Baitullah, Amira tidak sekadar menjejakkan kaki di tanah suci. Ia menelusuri ulang luka yang telah lama ia tutupi dengan senyum. Ia kembali ke titik awal—kini dengan dada lapang, iman yang tumbuh kuat, dan langkah baru yang lebih ikhlas. Film ini mengingatkan: saat manusia kehilangan arah, keikhlasan dan doa adalah kompas menuju cahaya.