
“Ada perasaan tidak boleh gagal di depan publik, karena takut merusak citra yang sudah dibangun,” ujarnya dalam webinar tentang remaja digital (2023).
Kondisi ini bisa menyebabkan kelelahan emosional dan kehilangan jati diri. Alih-alih berkembang secara alami, seseorang bisa terjebak dalam narasi yang ia bangun sendiri demi “menyenangkan” audiens digitalnya. Akibatnya, proses tumbuh menjadi pribadi yang autentik justru terganggu.
Personal branding tidak harus selalu berarti tampil terus-menerus di media sosial atau memiliki ribuan pengikut.
Intinya terletak pada pemahaman diri dan kemampuan untuk menyampaikan nilai yang ingin diusung. Dengan demikian, seseorang bisa membangun citra secara alami, tanpa kehilangan kejujuran dan kenyamanan pribadi.
Menunda personal branding juga bukan kesalahan. Proses mengenali diri terjadi pada waktu dan ritme yang berbeda bagi setiap orang.
Tidak semua orang harus menjadi “inspiratif” sejak usia remaja. Proses belajar, gagal, dan bereksperimen adalah bagian penting dari perjalanan personal branding itu sendiri.
Bagi yang sudah mulai, penting untuk menetapkan batasan. Misalnya, tidak semua aspek hidup perlu dibagikan; cukup tampilkan apa yang relevan dengan nilai atau tujuan yang ingin disampaikan.
Selain itu, evaluasi rutin terhadap citra diri juga perlu dilakukan agar tidak terjebak dalam persona yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan diri.
Personal branding sejak muda bisa menjadi alat, bukan keharusan. Ketika dilakukan secara sadar dan seimbang, ia mampu membuka peluang dan memperkuat arah hidup.
Namun, jika dijadikan beban dan dipaksakan, justru bisa mengikis jati diri. Karena pada akhirnya, nilai seseorang tidak hanya diukur dari jumlah likes, endorsement, atau seberapa banyak ia dikenal, tetapi dari konsistensi diri yang utuh—di depan maupun di balik layar.