
Zetizen - Istilah personal branding kini semakin sering digaungkan, bahkan kepada pelajar dan mahasiswa, di tengah maraknya media sosial serta ketatnya persaingan di dunia profesional.
Tak jarang, anak muda merasa perlu membangun citra diri sejak dini demi menunjang masa depan.
Meski menawarkan banyak peluang, tetap muncul pertanyaan yang mengusik: apakah membangun personal branding sejak muda benar-benar diperlukan, atau justru menjadi beban?
Dalam dunia yang serba terhubung, banyak anak muda merasa terdorong untuk menampilkan versi terbaik dari dirinya di ruang digital. Unggahan prestasi, pengalaman organisasi, hingga portofolio kreatif menjadi semacam etalase pencitraan diri.
Menurut laporan dari LinkedIn dan Business Insider (2023), lebih dari 50% profesional muda merasa bahwa membangun personal branding secara online sangat penting untuk mendukung karier dan jaringan.
Di Indonesia, tren ini juga terlihat pada maraknya akun media sosial yang menampilkan profil sebagai “public speaker muda”, “content creator pelajar”, hingga “pengusaha remaja”. Media sosial bukan lagi sekadar ruang ekspresi, tetapi ladang pembuktian diri.
Namun, di sisi lain, tidak semua individu nyaman untuk terus tampil dan membagikan setiap pencapaiannya.
Beberapa merasa tertekan karena merasa harus selalu aktif, produktif, dan menonjol, meski sesungguhnya belum siap secara emosional.
Personal branding pada dasarnya adalah cara seseorang menampilkan nilai, keahlian, dan identitas dirinya kepada publik.
Dalam dunia kerja dan industri kreatif yang kompetitif, memiliki citra diri yang kuat dapat menjadi pembeda.
Seperti dikemukakan oleh Jeff Bezos, pendiri Amazon, "Personal brand adalah apa yang orang katakan tentang kamu saat kamu tidak ada di ruangan." Pernyataan ini menekankan pentingnya persepsi orang lain terhadap diri kita.
Banyak institusi pendidikan dan program pengembangan diri pun mulai mendorong siswa untuk membangun personal branding sejak awal.
Tujuannya agar mereka lebih siap menghadapi dunia luar, seperti saat melamar beasiswa, magang, atau pekerjaan.
Menurut survei Deloitte Millennial Survey (2022), generasi muda yang memiliki online presence profesional cenderung lebih mudah mendapat peluang kerja atau kolaborasi. Meskipun bermanfaat, membangun personal branding di usia muda tetap menyimpan risiko.
Tuntutan untuk tampil sempurna bisa menimbulkan tekanan psikologis. Psikolog dari Universitas Indonesia, Vera Itabiliana, menyebutkan bahwa remaja dan mahasiswa rentan mengalami kecemasan sosial karena merasa identitas digital mereka harus selalu positif dan konsisten.