
ZETIZEN - Najwa (diperankan Raihaanun) adalah seorang guru honorer yang rindu akan perubahan. Saat tawaran mengajar di yayasan bergengsi di Jakarta datang, harapan hidup layak untuk putrinya, Yanti (Nayla Purnama), terbentang terbuka.
Namun, di balik senyuman sambutan keluarga Bhairawa, pemilik yayasan yang tampak ramah, tersembunyi ritual mengerikan yang mengunyah moral dan darah daging sendiri.
Film ini memulai ketegangannya sejak Najwa memasuki lingkungan yang tampak bersih dan megah. Rumah yayasan memukau, wajah elite keluarga Bhairawa menenangkan. Namun suara langkah kaki tak berwujud, tatapan kosong di cermin.
Hingga aroma darah yang samar mengintai di malam pertama mengubah aura nyaman menjadi ruang penuh ancaman, bukan sekadar pada tanah, tapi pada fondasi kepercayaan diri.
Dari sudut pandang halus: Najwa, Yanti, keluarga Bhairawa (Arifin Putra dkk.), serta sosok lain dalam sekte, terdengar jelas dalam interaksi mereka, baik lewat dialog maupun sikap tenang namun sarat ketegangan.
Akan tetapi, bukan hanya manusia, bayangan-bayangan menerobos ruang, mengaburkan batas antara yang hidup dan mati.
Dari desa ke kota, dari harapan ke teror, cerita ini merekam perubahan relasi, terutama relasi ibu-anak, sebagai ranah yang paling rentan.
Di awal, Najwa menaruh kepercayaan pada janji generasi maju: pendidikan sebagai jalan lahiriah dan moral. Namun, janji itu tenggelam ketika ia menyadari bahwa Yanti bukan sekadar murid istimewa, melainkan “pintu ritual” yang mewarisi garis keturunan Bhairawa.
Ritual kanibalisme (penyerapan darah dan jasad) dijalankan tanpa ampun; demi “keabadian” dan kekayaan keluarga tersebut.
Kita menyaksikan pergeseran kacamata moral Najwa secara perlahan: dari ibu yang percaya keluarga elite akan membawa kebaikan, menjadi ibu yang digerogoti rasa takut, macet pilihan, dan konflik batin yang menghimpit setiap napasnya.
Rumah yang awalnya menjadi simbol kehangatan kini berubah menjadi sarang, dengan bayangan anaknya menjadi pusat ritual yang bernama labinak, hantu dari legenda urban tentang darah dan harga diri.
Sinematografi menghitung bayangan, menekankan sapuan lampu remang-remang di koridor keluarga Bhairawa.
Suara derap perlahan, bisikan mendekat, dan senyuman penuh arti oleh anggota sekte terus menambah tekanan psikologis.
Penggunaan sudut-pandang subyektif dari Najwa, melihat roda menyalakan ritual di ruang bawah tanah, mendengar gumam Yanti di malam gelap, mengokohkan narasi tanpa harus menampilkan adegan gore eksplisit.