
Zetizen - Di tengah gempuran ekspektasi sosial, tekanan budaya, dan perubahan gaya hidup, semakin banyak anak muda, khususnya generasi Z, yang memilih untuk tidak menikah dulu.
Bukan karena anti-pernikahan, melainkan karena mereka mulai menyadari pentingnya batasan diri (boundaries), pematangan emosi, serta kemandirian sebelum memasuki institusi yang kompleks seperti pernikahan.
Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat yang semakin plural dan terbuka. Generasi Z, mereka yang lahir antara 1997 hingga awal 2010-an, tumbuh dalam era keterbukaan informasi dan krisis global.
Mereka menyaksikan perceraian, hubungan yang toksik, hingga tekanan ekonomi dari generasi sebelumnya. Alhasil, banyak dari mereka memutuskan untuk lebih hati-hati dan reflektif sebelum mengambil keputusan besar seperti pernikahan.
Survei yang dilakukan oleh Populix pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 40% responden Gen Z di Indonesia menyatakan belum ingin menikah dalam waktu dekat. Alasan utamanya antara lain ingin fokus pada karier, kesehatan mental, pendidikan, serta belum menemukan pasangan yang satu visi.
Ini menandakan adanya pergeseran paradigma: dari sekadar mengikuti norma menjadi memprioritaskan kesiapan individu. Keputusan untuk tidak menikah dulu tidak selalu berakar dari trauma atau kekecewaan terhadap hubungan.
Justru sebaliknya, banyak anak muda saat ini lebih sadar akan pentingnya mengenal diri sendiri, membangun batasan yang sehat, dan tidak tergesa-gesa dalam komitmen jangka panjang.
Sumber : iStock
Hal ini erat kaitannya dengan konsep boundaries, sebuah istilah yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk menentukan batas emosional, fisik, dan mental dalam relasi interpersonal. Dalam konteks ini, boundaries bukanlah bentuk penolakan terhadap kedekatan, melainkan cara untuk memastikan relasi terbangun di atas dasar yang sehat.
Generasi Z yang akrab dengan literasi psikologis melalui media sosial dan forum daring, cenderung lebih terbuka dalam menyuarakan kebutuhan mereka, termasuk keinginan untuk menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali.
Tingginya biaya hidup, ketidakpastian ekonomi, serta krisis perumahan menjadi faktor yang turut memengaruhi keputusan ini.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah pertama di Indonesia mengalami kenaikan, terutama di perkotaan. Bila dulu menikah di usia 20-an awal dianggap ideal, kini angka tersebut bergeser ke akhir 20-an atau bahkan awal 30-an.
Selain itu, ekspektasi sosial terhadap peran gender dalam rumah tangga juga mulai dipertanyakan. Banyak perempuan muda yang kini memilih untuk mengejar pendidikan tinggi atau membangun karier terlebih dahulu tanpa tekanan untuk segera menikah.
Di sisi lain, laki-laki Gen Z juga tidak lagi merasa harus menjadi satu-satunya pencari nafkah, dan mulai mempertimbangkan kesiapan emosional serta finansial sebelum menikah.