
Keputusan untuk tidak menikah dulu juga tak bisa dilepaskan dari perubahan budaya yang lebih inklusif terhadap pilihan hidup.
Bila sebelumnya tekanan dari keluarga besar atau masyarakat sangat kuat, kini mulai muncul ruang untuk berdialog dan bernegosiasi terhadap hal tersebut.
Organisasi seperti Indonesia Mengajar, Youth Studies Centre UGM, dan media digital seperti Magdalene serta Vice Indonesia telah beberapa kali mengangkat isu-isu seputar pilihan hidup di luar norma arus utama, termasuk keputusan untuk menunda pernikahan.
Dengan semakin terbukanya ruang diskusi publik, suara-suara yang dulu dianggap “menyimpang” kini mulai mendapatkan tempat.
Tidak semua orang harus menikah muda, dan tidak semua relasi harus berakhir di pelaminan.
Bagi Gen Z, kebahagiaan tidak lagi semata-mata diukur dari status pernikahan, tetapi dari kualitas hidup yang mereka jalani dengan sadar. Memilih untuk tidak menikah dulu bukan berarti menyerah pada cinta, melainkan bentuk keberanian untuk menunggu hingga benar-benar siap—secara mental, emosional, maupun ekonomi.
Pilihan ini memang belum selalu mudah diterima di masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai konvensional.
Namun, seiring waktu, semakin banyak orang menyadari bahwa setiap individu berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam hal kapan dan apakah mereka ingin menikah.