
Selain itu, pengalaman hidup seperti trauma, kegagalan, atau pola asuh masa kecil juga memengaruhi kemampuan seseorang untuk mencintai dirinya sendiri.
Banyak yang tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai diri tergantung pada pencapaian atau validasi dari luar, bukan dari penghargaan internal.
Membangun cinta pada diri sendiri bukan proses instan, tetapi dapat dilakukan secara bertahap melalui refleksi dan kebiasaan sadar. Berikut beberapa cara yang bisa diterapkan:
Menerima kekurangan sebagai bagian dari diri, bukan sesuatu yang harus disembunyikan.
Menetapkan batasan yang sehat, baik dalam hubungan sosial maupun pekerjaan.
Berbicara dengan diri sendiri secara positif, mengganti kalimat seperti “aku gagal” menjadi “aku sedang belajar”.
Merawat tubuh dan pikiran dengan aktivitas yang membawa ketenangan, tidak hanya yang terlihat instagramable.
Menghargai pencapaian kecil, tanpa harus menunggu validasi dari orang lain.
Self-love juga erat kaitannya dengan keberanian untuk mencari bantuan profesional saat dibutuhkan. Mengakses layanan konseling atau terapi bukan tanda kelemahan, tetapi justru bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan diri.
Banyak yang keliru mengira bahwa mencintai diri berarti selalu merasa bahagia dan percaya diri. Nyatanya, self-love juga hadir dalam bentuk kejujuran, mengakui bahwa sedang tidak baik-baik saja dan tetap menerima diri dalam kondisi itu.
Saat seseorang bisa berdamai dengan kegagalan, memaafkan luka lama, dan tetap memilih untuk merawat dirinya, itulah bentuk tertinggi dari self-love. Self-love tidak selalu tampak indah di permukaan. Ia bukan sekadar masker wajah atau akhir pekan di spa.
Cinta pada diri sejati adalah tentang memahami, menerima, dan tumbuh bersama diri sendiri dalam segala kondisi. Karena pada akhirnya, hidup yang utuh bukan tentang menjadi sempurna di mata orang lain, melainkan merasa cukup dan damai dalam diri sendiri.