zetizen

Mengapa Gen Z Lebih Terbuka Membicarakan Trauma?

Life
Sumber : iStock

Zetizen - Di media sosial, semakin banyak unggahan tentang kesehatan mental, kisah pemulihan dari luka batin, hingga curahan hati tentang pengalaman traumatis yang dulunya tabu untuk dibicarakan. Jika diamati lebih jauh, sebagian besar datang dari generasi muda ,terutama Gen Z.

Mereka bukan hanya menyuarakan perasaan, tetapi juga secara aktif mengajak orang lain untuk sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Fenomena ini menandai pergeseran budaya dalam menyikapi trauma secara kolektif.

Salah satu pendorong utama keterbukaan Gen Z dalam membicarakan trauma adalah hadirnya media sosial. Platform seperti TikTok, Twitter (X), dan Instagram menjadi ruang berbagi yang tak lagi dibatasi oleh jarak atau stigma.

Menurut survei Pew Research Center (2022), sekitar 67% Gen Z di Amerika menggunakan TikTok, dan sebagian besar mengakses konten seputar self-help, terapi, dan mental health awareness. Di Indonesia, tren serupa juga terlihat.

Generasi ini aktif mengikuti akun-akun psikolog, konselor, atau bahkan influencer yang membagikan pengalaman pribadi mereka.

Gen Z tumbuh di era digital dengan akses informasi yang tak terbatas. Mereka tidak hanya menerima informasi, tetapi juga memilah, membandingkan, dan menganalisisnya secara kritis.

Ketika generasi sebelumnya cenderung menyembunyikan luka batin karena dianggap sebagai “aib keluarga” atau “urusan pribadi”, Gen Z justru mempertanyakan: mengapa kita tidak boleh membicarakan rasa sakit?

Kritik terhadap budaya diam ini banyak digaungkan lewat kampanye daring seperti #BreakTheStigma atau #MentalHealthAwareness. Dari sinilah kesadaran kolektif mulai terbentuk.

Mereka tak lagi melihat trauma sebagai kelemahan, tetapi sebagai bagian dari perjalanan hidup yang harus dipahami dan diatasi.

Menurut data Katadata Insight Center (2023), pencarian kata “psikolog” meningkat hingga 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Sumber : iStock

Dulu, pergi ke psikolog sering dikaitkan dengan “orang gila”. Kini, terapi justru dianggap sebagai bentuk self-care. Menurut data Katadata Insight Center (2023), pencarian kata “psikolog” meningkat hingga 35% dibandingkan tahun sebelumnya.

Gen Z tidak ragu untuk berkonsultasi secara daring maupun tatap muka karena mereka telah lebih akrab dengan istilah-istilah psikologi populer seperti “boundaries”, “gaslighting”, atau “inner child”.

Normalisasi terapi ini juga diperkuat oleh edukasi dari berbagai pihak. Misalnya, melalui kampanye Ruang Tumbuh, Into The Light Indonesia, dan Pijar Psikologi yang secara konsisten menyampaikan pentingnya kesehatan mental.

Bagi banyak Gen Z, memahami trauma bukan lagi beban, melainkan bentuk rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Halaman: