
Meskipun dikenal sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi dan kenyamanan digital, bukan berarti Gen Z lepas dari tekanan. Justru, mereka menghadapi beban yang tak kalah besar—mulai dari krisis iklim, pandemi, kesenjangan sosial, hingga tekanan akademik dan ekonomi. Semua ini memengaruhi kesehatan mental secara signifikan.
WHO dalam laporan tahun 2022 menyebutkan bahwa 1 dari 7 remaja di dunia mengalami gangguan mental, dan angka ini meningkat selama masa pandemi.
Di Indonesia sendiri, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa sekitar 6,1% penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, yang bisa berakar dari pengalaman traumatis di masa lalu.
Membicarakan trauma bagi Gen Z bukan sekadar bentuk pelampiasan. Ini adalah upaya untuk mengubah narasi: dari luka menjadi kekuatan, dari diam menjadi dialog.
Mereka menolak untuk hanya bertahan dalam ketakutan atau tekanan sosial, dan mulai menulis ulang kisah hidup mereka dengan bahasa yang jujur.
Dengan keberanian mereka, generasi ini secara tidak langsung turut membentuk budaya baru, budaya yang lebih empatik dan terbuka terhadap pengalaman manusiawi yang kompleks. Meskipun tantangan tetap ada, langkah yang telah diambil menjadi pijakan penting untuk generasi setelahnya.
Keterbukaan Gen Z dalam membicarakan trauma bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari perubahan zaman, perluasan akses informasi, dan keberanian kolektif.
Dari ruang digital hingga ruang terapi, mereka menunjukkan bahwa mengakui luka bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kekuatan untuk tumbuh.