
Zetizen - Pernikahan Arwah (The Butterfly House) bukan sekadar film horor. Ia mengajak penonton menelusuri perbenturan antara cinta modern dan warisan kepercayaan turun-temurun. Film yang mulai tayang di Netflix sejak 3 Juli 2025 ini sebelumnya telah dirilis di bioskop pada Februari 2025. Sutradara Paul Agusta, bersama penulis skenario Aldo Swastia dan Ario Sasongko, menyuguhkan kisah horor yang membumi dalam tradisi Tionghoa-Indonesia yang jarang diangkat.
Cerita dimulai dengan Salim (Morgan Oey), seorang pemuda keturunan Tionghoa, yang tengah mempersiapkan pernikahan dengan kekasihnya, Tasya (Zulfa Maharani). Prosesi adat seperti sangjit pun dijalani. Namun di tengah kebahagiaan itu, kematian seorang anggota keluarga memaksa mereka kembali ke rumah leluhur Salim yang berada di kawasan pesisir Jawa Tengah.
Kedatangan mereka ke rumah tua tersebut awalnya hanya untuk pemotretan pre-wedding. Namun rumah itu menyimpan sesuatu yang tak kasat mata. Mulai dari altar sembahyang tua yang terus menyala, hingga patung-patung leluhur yang tampak hidup, perlahan membangkitkan kegelisahan. Salim diharuskan menjalankan ritual membakar dupa harian sebagai bagian dari wasiat keluarga—ritual yang tidak bisa diabaikan. Karena jika berhenti, diyakini akan ada konsekuensi besar: nyawa sebagai taruhannya.
Konflik mulai muncul saat Tasya merasakan keanehan: dari mimpi buruk tentang peti mati hingga mendengar suara-suara aneh di malam hari. Perlahan, ia mulai menyadari bahwa Salim menyembunyikan sesuatu. Tidak hanya tentang rumah itu, tetapi juga sejarah leluhurnya yang berhubungan dengan “pernikahan arwah”—ritual minghun, sebuah perjodohan antara orang hidup dan arwah yang belum menikah saat meninggal.
Dalam budaya Tionghoa, minghun dilakukan demi menenangkan roh dan menjaga keseimbangan keluarga. Jika arwah tetap sendiri, diyakini akan membawa malapetaka bagi keturunannya. Ketika Tasya menyelidiki lebih dalam, ia menemukan bahwa ada sosok perempuan yang seharusnya menjadi pasangan Salim dalam ritual arwah, namun kini rohnya gentayangan, merasa tergantikan dan menuntut penyelesaian.
Visual film sangat mendukung atmosfer cerita. Rumah bergaya peranakan dengan jendela lengkung, patung naga, dan barang-barang peninggalan kolonial ditata secara artistik, menciptakan kesan magis sekaligus mencekam. Sinematografi yang tenang namun penuh tekanan menjadikan rasa takut muncul bukan dari kejutan, tapi dari suasana yang terus menekan.
Dalam ketegangannya, film ini juga menyisipkan kritik tentang benturan antara modernitas dan tradisi. Salim yang semula menolak ritual keluarganya, lambat laun dihadapkan pada pilihan: tunduk pada budaya leluhur atau kehilangan segalanya. Tasya, sebagai tokoh outsider, justru menjadi jembatan antara dunia logika dan dunia spiritual yang tak sepenuhnya bisa dinalar.
Akhir film tidak disajikan dengan gemuruh seperti film horor kebanyakan. Justru, ia memilih jalur kontemplatif: bahwa tidak semua yang gaib bisa dilawan, dan tidak semua tradisi bisa begitu saja ditinggalkan. Dalam satu adegan sunyi, penonton disadarkan bahwa cinta bukan hanya tentang dua insan yang hidup, tapi juga tentang mereka yang sudah tiada namun belum sepenuhnya pergi.
Pernikahan Arwah berhasil menyatukan horor dan budaya dalam satu sajian visual yang khas. Ia tak hanya menakutkan, tapi juga membuka ruang dialog soal bagaimana kita memandang warisan leluhur. Ketika cinta diuji oleh masa lalu yang belum tuntas, akankah keberanian cukup untuk menyelamatkan masa depan?