
Zetizen - Festival Pertengahan Musim Gugur selalu jadi momen istimewa bagi masyarakat Tiongkok. Bulan purnama yang bulat sempurna dipandang sebagai simbol kebersamaan, doa dan harapan.
Di banyak kota besar, perayaan biasanya identik dengan kue bulan, lampion, hingga pesta keluarga. Tapi, ada satu tradisi unik dari Henan, Tiongkok, yang justru mencuri perhatian dunia maya yaitu “screaming at the moon” alias teriak ke bulan.
Sekilas, tradisi ini mungkin terdengar aneh, bahkan sedikit kocak. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, ternyata ada cerita menyentuh yang bikin siapa pun bisa ikut terharu.
Awal Mula dari Kisah Kehilangan
Tradisi ini lahir dari sebuah kisah pilu di pedesaan Xinye, Provinsi Henan. Alkisah, seorang wanita tua harus merelakan putranya yang baru berusia 17 tahun dikirim ke Taiwan untuk wajib militer. Sayangnya, si anak nggak pernah kembali lagi. Rasa rindu yang menumpuk membuat sang ibu mencari cara untuk tetap merasa dekat dengan putranya.
Setiap malam Festival Pertengahan Musim Gugur, saat bulan purnama bersinar terang, ia akan berdiri di bawah sinarnya lalu berteriak memanggil nama anaknya. Teriakan itu bukan sekadar suara, tapi simbol kerinduan yang nggak pernah bisa terbalas.
Dari situlah, kebiasaan ini akhirnya diikuti oleh masyarakat sekitar, hingga berkembang jadi tradisi tahunan yang dikenal sebagai teriak ke bulan.
Makna di Balik Teriakan
Bagi warga Henan, berteriak ke bulan bukan cuma ritual unik untuk menarik perhatian. Lebih dari itu, tradisi ini jadi media pelepasan emosi terdalam kerinduan pada keluarga, doa untuk orang-orang yang jauh, bahkan perasaan kehilangan yang sulit diucapkan dengan kata-kata.
Teriakan dianggap sebagai jembatan antara hati manusia dan bulan yang selalu hadir menemani. Ada yang percaya, semakin kencang teriakan, semakin besar pula kesempatan doa atau pesan itu sampai kepada mereka yang dirindukan.
Bulan, Simbol yang Menyatukan
Dalam budaya Tiongkok, bulan purnama selalu punya posisi istimewa. Salah satu puisi klasik bahkan berbunyi “Meski terpisah jarak, kita tetap bisa berbagi indahnya sinar bulan yang sama.” Bait ini menggambarkan betapa bulan jadi simbol universal kerinduan.
Bagi masyarakat Henan, berteriak ke bulan seolah jadi cara nyata untuk mewujudkan filosofi itu. Bulan bukan hanya benda langit yang indah dipandang, tapi juga penghubung hati manusia yang terpisah oleh jarak, waktu, bahkan kematian.
Viral di Era Media Sosial
Di era sekarang, tradisi ini nggak lagi sekadar cerita lokal. Berkat media sosial, banyak video dan dokumentasi tentang orang-orang Henan yang berteriak ke bulan tersebar luas. Netizen dari berbagai negara ikut tersentuh, bahkan ada yang mencoba melakukan hal serupa sebagai bentuk pelepasan emosi.
Komentar yang muncul rata-rata bernuansa haru ada yang bilang teringat keluarganya yang jauh, ada yang merasa tradisi ini bisa jadi cara untuk meluapkan rasa stress, bahkan ada yang mengaku pengen langsung coba sendiri. Dari yang awalnya cuma kebiasaan desa, screaming at the moon kini jadi fenomena budaya yang bikin banyak orang merasa relate.
Tradisi yang Bikin Kita Berkaca
Kalau dipikir-pikir, siapa sih yang nggak pernah kangen sama seseorang? Entah itu keluarga, sahabat, atau bahkan seseorang yang udah nggak bisa kita temui lagi. Tradisi ini seakan ngajarin kita bahwa nggak apa-apa menunjukkan kerinduan, bahkan dengan cara yang sederhana sekalipun.
Bulan purnama memang hanya muncul sempurna sekali sebulan, tapi maknanya bisa jadi pengingat abadi bahwa di bawah sinar yang sama, ada orang-orang lain yang mungkin juga sedang menatap bulan dengan rindu.
Jadi, kalau kamu lagi kangen seseorang, coba deh pandang bulan. Siapa tahu, seperti orang-orang Henan, kamu bisa nemuin cara unik buat melepaskan perasaan itu. Nggak harus selalu lewat chat, telepon, atau DM kadang cukup lewat teriakan kecil yang jujur dari hati.