zetizen

Gaya Hidup Low Exposure: Diam di Media Sosial, Nyaman di Kehidupan Nyata

Life
Sumber : iStock

Gaya hidup low exposure menawarkan alternatif untuk menjalani hidup secara lebih sadar, tenang, dan penuh kendali. Sumber : iStock

Di Indonesia, ada pula sejumlah selebritas yang mulai menahan diri untuk tidak membagikan kehidupan keluarga atau anak-anak mereka secara terbuka.

Mereka yang menjalani gaya hidup low exposure mengaku memperoleh ketenangan batin dan kendali lebih atas hidupnya.

Tidak tergoda untuk mengedit kenyataan agar tampak sempurna di feed membuat hidup terasa lebih jujur. Tak ada rasa cemas saat unggahan tak mendapat respons atau komentar. Namun, tantangan tetap ada. Di era keterhubungan digital, bersikap pasif kadang menimbulkan kesan tidak peduli.

Bahkan, dalam lingkungan kerja atau komunitas, seseorang bisa saja dianggap kurang aktif jika tidak menunjukkan “jejak digital” tertentu. Oleh karena itu, sebagian orang memilih jalan tengah: tetap hadir, namun membatasi jenis konten yang mereka unggah.

Kehidupan yang terlalu terekspos rentan menimbulkan tekanan sosial, manipulasi citra diri, hingga risiko keamanan. Dengan memilih gaya hidup low exposure, seseorang bisa membangun boundaries digital yang sehat.

Ini bukan tentang menarik diri sepenuhnya dari dunia maya, melainkan tentang memiliki kendali atas apa yang ingin dibagikan.

Di tengah era ketika algoritma memengaruhi apa yang dilihat dan dirasakan pengguna, memilih untuk membatasi paparan adalah bentuk keberanian. Low exposure bukan tanda ketidakaktifan, tetapi refleksi dari kesadaran diri akan pentingnya ruang pribadi.

Gaya hidup low exposure menawarkan alternatif untuk menjalani hidup secara lebih sadar, tenang, dan penuh kendali.

Ketika media sosial semakin bising, diam bisa menjadi cara baru untuk mendengarkan diri sendiri. Karena tidak semua hal indah harus diposting, dan tidak semua cerita perlu dibagikan untuk dianggap nyata.

Halaman: