
Zetizen - Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-love atau mencintai diri sendiri menjadi populer, terutama di kalangan anak muda. Konten media sosial dipenuhi dengan ajakan untuk merawat diri: membeli lilin aromaterapi, mencoba produk skincare terbaru, hingga mengambil waktu untuk liburan singkat.
Namun, seiring dengan menjamurnya tren ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah self-love sesederhana itu? Ataukah ada makna yang lebih dalam dari sekadar rutinitas perawatan kulit?
Tidak dapat dipungkiri, industri kecantikan dan gaya hidup turut andil dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai self-love.
Dalam laporan dari Global Wellness Institute (2023), pasar produk dan layanan self-care global mengalami peningkatan sebesar 12% dalam setahun terakhir. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan sektor beauty and wellness semakin signifikan, dengan kampanye yang kerap mengaitkan perawatan tubuh dengan bentuk mencintai diri.
Meski tidak salah, konsep ini menjadi sempit ketika self-love hanya diartikan sebagai aktivitas konsumtif.
Banyak orang merasa gagal mencintai diri hanya karena belum mampu membeli produk perawatan mahal atau belum sempat mengambil cuti untuk berlibur.
Padahal, self-love bukan hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang cara memperlakukan dan memahami diri secara menyeluruh.
Menurut Positive Psychology Center di University of Pennsylvania, self-love adalah sikap menerima diri secara utuh, termasuk kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Ini berarti bersikap penuh kasih terhadap diri sendiri meskipun sedang berada dalam masa sulit.
Dalam jurnal Psychology Today, Dr. Deborah Khoshaba menjelaskan bahwa self-love melibatkan kesadaran, penerimaan, dan komitmen terhadap pertumbuhan diri, bukan sekadar indulgensi atau hadiah sesaat.
Self-love juga berarti berani menetapkan batasan, berkata “tidak” ketika merasa lelah, dan tidak terus-menerus menyalahkan diri saat melakukan kesalahan.
Padahal, self-love bukan hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang cara memperlakukan dan memahami diri secara menyeluruh. Source : iStock
Ini mencakup kemampuan untuk memaafkan, belajar dari pengalaman, serta tidak membandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Mencintai diri bukan tugas yang sederhana, terutama di tengah budaya yang menuntut kesempurnaan.
Media sosial kerap menampilkan citra ideal yang sulit dicapai. Saat melihat orang lain yang tampak lebih sukses, lebih bahagia, atau lebih “terawat”, muncul perasaan tidak cukup baik.
Hal ini diperkuat oleh survei dari American Psychological Association (2023) yang menyebutkan bahwa 43% generasi muda merasa tidak puas dengan diri sendiri akibat pengaruh media digital.