zetizen

Hoax Perubahan Iklim: Strategi Disinformasi yang Menghambat Aksi Global

Explore
Source: logicallyfacts.com

Zetizen - Pada akhir 1970‑an, riset internal yang dilakukan oleh perusahaan Exxon Mobil telah memperingatkan tren pemanasan global akibat emisi karbon, namun perusahaan ini memilih mendanai kampanye keraguan publik demi melindungi kepentingan industri fosil.

Naomi Oreskes dan Erik Conway dalam Merchants of Doubt menjelaskan bagaimana segelintir ilmuwan kontrarian dan think‑tank konservatif terus menghembuskan kontroversi meski konsensus ilmiah telah tercapai.

Ilustrasi mengenai hal ini yang paling ikonik adalah sampul palsu majalah TIME 1977 yang memperingatkan “Coming Ice Age,” yang meski telah dibantah pada 2011, masih beredar luas di jagat maya sebagai bukti manipulasi media tradisional.

Memasuki era digital, taktik hoax iklim berevolusi dengan memanfaatkan bot‑like accounts di platform X yang menghasilkan miliaran tayangan konten menyesatkan dan menciptakan echo chambers.

Algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten sensasional sehingga teori konspirasi seperti narasi “elit global” yang menciptakan krisis iklim semakin mudah disebarkan. Efek “illusory truth” memperlihatkan bahwa pengulangan klaim palsu meningkatkan persepsi kebenaran, bahkan setelah klaim tersebut secara resmi dibantah oleh kalangan ilmuwan.

Data dari survei yang dilakukan oleh Ipsos group mengenai Climate Action, sumber: ipsos.com

Survei global yang dilakukan oleh Ipsos Group pada tahun 2024 di 32 negara mengungkap bahwa walaupun mayoritas sebanyak 64% meyakini climate action atau aksi iklim level individu ada 36% responden di berbagai negara meremehkan urgensi krisis iklim.

Di Indonesia bila mengacu pada Tackling Climate Misinformation in Indonesia yang ditulis oleh Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Sekitar 24 % percaya krisis iklim adalah “fenomena buatan penguasa global, ” dan lebih dari 25 % menganggap riset akademik dikendalikan elit. Sebagian lagi (32,5 %) melihat penyebab krisis sebagai pelanggaran moral atau ketidakpatuhan beragama. Ini menunjukkan bahwa narasi konspirasi dan framing moral masih menempel kuat di sebagian masyarakat.

Masih dari sumber yang sama, mayoritas responden atau sebesar 63,5 % mengaku menjadikan media sosial sebagai saluran utama untuk mendapatkan informasi tentang krisis iklim, dan hampir semua (98 %) pernah menemukan konten misinformasi di platform-platform tersebut.

Algoritma media sosial yang memprioritaskan konten sensasional cenderung memperkuat keyakinan keliru, karena unggahan hoax mendapatkan interaksi tinggi sehingga terus muncul di beranda pengguna yang rentan terhadap narasi ‘Climate Hoax’. Meski 74 % responden merasa percaya diri dapat mengenali misinformasi, hanya 62,3 % yang benar‑benar memverifikasi kebenaran informasi tersebut, dan hampir setengahnya (47,1 %) memilih mengurangi intensitas pencarian informasi ketika merasa bingung.

Lebih jauh, hanya 20 % yang aktif memproduksi atau membagikan counter-narrative atau kontra‑narasi untuk melawan hoax iklim, menunjukkan bahwa kesadaran akan kewajiban memerangi disinformasi masih jauh di bawah potensi yang dibutuhkan untuk menumbangkan operasi “Climate Hoax.”

Menurut data Pew Research Center Desember 2024, hanya 32 % orang dewasa di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa mereka “percaya sepenuhnya” pada kesimpulan ilmiah mengenai penyebab dan dampak pemanasan global, sementara 39 % lainnya merasa “cukup percaya” dan 27 % menyatakan kurang atau tidak percaya sama sekali. Perbedaan partai memperjelas polarisasi politik: 88 % Demokrat mempercayai ilmuwan iklim, tetapi hanya 66 % Republikan yang sependapat.

Dilansir dari GQ Magazine yang ditulis oleh Jay Willis pada 2019, Investasi sektor energi bersih terganggu oleh lobi industri bahan bakar fosil, kelompok seperti Koch Industries telah mendanai upaya disinformasi yang menunda pengesahan undang‑undang emisi, sehingga investasi publik dan swasta pada teknologi rendah karbon menurun drastis.

Halaman: