zetizen

Benarkah Chip E-KTP Bisa Lacak Warga? Ini Faktanya

Explore
Source: Heylaw

Zetizen - Di tengah derasnya arus digitalisasi, kehadiran Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) menjadi langkah strategis pemerintah dalam menyederhanakan proses administrasi dan memperkuat sistem identitas nasional. Namun di balik berbagai manfaat yang ditawarkan, teknologi ini justru kerap menjadi sasaran teori konspirasi yang menyesatkan dan tak berdasar.

Salah satu isu yang terus berulang dan berkembang adalah klaim bahwa chip dalam e-KTP digunakan untuk melacak pergerakan warga oleh pemerintah. Tuduhan ini bahkan merambah ke wilayah yang lebih ekstrem, seperti menyebut bahwa chip e-KTP dapat mengakses data pribadi, mengandung malware atau virus, hingga digunakan untuk menyadap aktivitas warga.

Isu tersebut tersebar luas melalui media sosial, di antaranya oleh akun TikTok @cutmuliaqey dan Facebook @Rifka Aini Putri, yang menyebarkan narasi bahwa chip e-KTP memungkinkan pihak berwenang mengetahui posisi seseorang secara real-time, seolah-olah chip tersebut memiliki kemampuan pelacakan seperti GPS.

Faktanya, chip yang tertanam dalam e-KTP tidak memiliki fitur pelacakan, tidak dilengkapi GPS, tidak memiliki koneksi nirkabel, dan tidak dirancang untuk menyadap atau memantau aktivitas seseorang.

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, telah berkali-kali menegaskan bahwa fungsi utama chip tersebut hanyalah untuk menyimpan dan memverifikasi data kependudukan secara digital.

Data yang tersimpan mencakup nama lengkap, Nomor Induk Kependudukan (NIK), foto, tanda tangan digital, serta data biometrik seperti sidik jari. Chip ini hanya bisa dibaca menggunakan card reader khusus yang telah terverifikasi dan bekerja sama secara resmi dengan Dukcapil, sehingga tidak bisa diakses secara sembarangan.

Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, juga secara tegas menyatakan bahwa informasi mengenai chip e-KTP digunakan untuk melacak pergerakan warga adalah hoaks. Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa chip pada e-KTP digunakan semata-mata untuk menyimpan data penduduk, bukan untuk menyadap atau melacak pergerakan warga. Pernyataan ini sekaligus membantah berbagai narasi liar yang terus disebarkan tanpa dasar teknis dan logika yang jelas.

Perlu dipahami bahwa chip e-KTP memiliki kapasitas penyimpanan yang sangat terbatas, yakni hanya sekitar 8 kilobyte. Jumlah ini bahkan tidak cukup untuk menyimpan file gambar berukuran kecil, apalagi data kompleks atau sistem pelacakan. Tidak adanya fitur komunikasi jarak jauh dalam chip tersebut juga membuatnya tidak mungkin digunakan sebagai alat pemantauan.

Sayangnya, di era media sosial yang serba cepat, informasi keliru atau hoaks kerap kali menyebar lebih luas dan cepat dibandingkan klarifikasi resmi. Untuk itu, masyarakat diimbau agar tidak membongkar chip pada e-KTP karena dapat merusak fungsinya.

Jika rusak, pemerintah tidak akan memberikan penggantian kartu. Informasi dan klarifikasi ini telah dibahas dalam forum Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH) di Facebook, serta dipublikasikan ulang oleh TurnBackHoax.ID, situs pengecekan fakta yang dikelola oleh MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia).

Sebagai langkah konkret melawan penyebaran hoaks, pemerintah juga telah memperkuat landasan hukum melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 28 ayat (1) dan (3), serta Pasal 45A ayat (1) dan (2), menyebutkan bahwa siapa pun yang menyebarkan informasi palsu yang menimbulkan keresahan publik dapat dijerat pidana dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah.

Di tengah gempuran informasi yang belum tentu benar, penting bagi masyarakat untuk mengedepankan akal sehat, logika, dan semangat untuk mencari klarifikasi dari sumber resmi.

Jangan sampai rasa curiga yang tidak berdasar justru merusak kepercayaan terhadap sistem administrasi kependudukan yang sedang dibangun untuk efisiensi dan kepentingan bersama. Memahami teknologi secara tepat bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan bagian dari peran warga negara digital yang cerdas dan bertanggung jawab.