zetizen

Scroll, Percaya, Sebar: Mengapa Hoax Merajalela di Tiktok dan Reels?

Explore
Froyonion.com

Zetizen - Di era digital yang semakin canggih ini, bagaimana manusia mengonsumsi informasi kian berevolusi. Jika dulu informasi dapat kita peroleh lewat membaca koran ataupun tayangan berita di televisi, di masa kini sebagian besar informasi dikemas dalam konten digital berdurasi singkat yang bahkan kurang dari satu menit. Perubahan besar dalam pola konsumsi media ini nyatanya berdampak langsung pada kemampuan manusia untuk fokus.

Lewat berbagai platform seperti Tiktok, Instagram Reels, dan Youtube Shorts, yakni platform konten pendek yang didesain untuk mengoptimalkan engagement, bukan pemahaman, turut membentuk kebiasaan scroll cepat, dopamin hit, dan rasa puas instan pada manusia.

Dalam pola ini, tidak ada waktu untuk berpikir kritis atau memverifikasi informasi. Konten yang provokatif dan emosional akan lebih mudah mendapat perhatian, bahkan jika isinya salah. Praktis, cepat, dan menarik, tapi belum tentu benar. Fenomena ini nyatanya sering ditemukan di sekitar kita, seperti pada orangtua atau keluarga, tetangga, bahkan diri sendiri.

Attention Span yang Menyusut, Fakta Terpotong

Penelitian Microsoft pada 2015 menyebutkan bahwa rata-rata perhatian manusia kini hanya bertahan selama delapan detik. Angka ini bahkan lebih rendah dibanding ikan mas koki yang memiliki rentang perhatian sekitar sembilan detik.

Temuan ini populer dengan istilah “Goldfish Effect” dan menjadi sorotan banyak pihak karena menunjukkan penurunan drastis dari tahun 2000 yang sebelumnya berada di angka 12 detik.

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 2.000 partisipan dan pengukuran EEG (elektroensefalografi) untuk melihat tingkat fokus otak dalam menerima informasi. Hasil pun menunjukkan bahwa manusia modern makin sulit fokus karena terbiasa menerima informasi dalam bentuk yang instan dan cepat.

Namun, klaim ini juga memicu kontroversi di kalangan ilmuwan yang justru berpendapat bahwa perubahan pola konsumsi informasi lebih dipengaruhi oleh kebiasaan teknologi, dan durasi fokus manusia bervariasi tergantung konteks dan minat individu.

Dalam konteks konten pendek, video dengan durasi di bawah satu menit seringkali tidak menyampaikan informasi secara utuh dan potongannya bisa diedit sedemikian rupa hingga menyesatkan sehingga ruang untuk fakta jadi lebih terbatas. Hoax pun jadi mudah disisipkan, apalagi jika ditambah narasi yang provokatif dan tanpa konteks.

Konten seperti ini sangat mudah viral, terutama jika menyentuh isu yang sensitif seperti politik, kesehatan, atau konspirasi. Attention Span manusia modern yang minim inilah berperan dalam proses penyebaran hoax, dimana mereka jadi cenderung tidak kritis dan lebih mudah tergoda untuk mengklik atau membagikan berita palsu yang ada pada konten pendek.

Konten Singkat, Risiko Besar

NewsGuard (2022), lembaga pemantau kredibilitas informasi, melakukan analisis terhadap hasil pencarian di TikTok dan menemukan bahwa 19,4 persen video mengandung klaim palsu atau menyesatkan. Hoax yang menyebar tidak main-main, mulai dari pengobatan alternatif tanpa dasar, teori konspirasi politik, hingga ajakan membenci kelompok tertentu.

Sementara itu, studi dari Dublin City University (2024) menunjukkan bahwa algoritma TikTok dan YouTube Shorts cenderung mendorong pengguna ke arah konten yang ekstrem. Misalnya, 13,6 persen dari konten yang direkomendasikan mengandung narasi misoginis, dan 5,2 persen memuat teori konspirasi. Algoritma ini bekerja dengan prinsip sederhana; semakin banyak interaksi, semakin sering ditampilkan, terlepas kebenarannya.

Dengan ruang terbatas, konten pendek lebih mengandalkan emosi daripada logika. Ketika pengguna hanya diberi cuplikan dan narasi emosional, kemampuan untuk berpikir kritis menjadi tergerus. Ditambah lagi, minimnya moderasi platform membuat konten hoax mudah menyebar tanpa hambatan.

Di Indonesia, upaya moderasi hoax sempat dilakukan lewat kerjasama TikTok dengan pemerintah pada periode Pemilu 2024 kemarin. “Tiktok sendiri sudah melapor ke kami selama pemilu ini dia sudah men-take down 10.8 juta (konten) hoax. Ini yang secara mandiri tanpa kita minta,” ungkap Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa. Kerjasama ini sangat dibutuhkan di era digital konten pendek yang memudahkan penyebaran hoax provokatif, terutama di masa genting seperti pemilu.

Siapa yang Paling Rentan Terkena hoax?

Dalam konteks konten pendek, kelompok paling rentan terhadap hoax meliputi:

  • Orangtua dan lansia, yang mungkin belum sepenuhnya akrab dengan dinamika media sosial karena usia.

Halaman: