
Zetizen - Di saat Indonesia tampaknya mulai membalikkan keadaan melawan COVID-19, kumpulan berita bohong atau hoaks mengancam untuk membatalkan kemajuan tersebut. Dari Januari hingga Mei 2025, Kementerian Kesehatan mengkonfirmasi 72 kasus COVID-19 baru.
Meskipun jumlahnya masih rendah, pihak berwenang tidak mengambil risiko. Surat edaran terbaru dari Kementerian Kesehatan (SR.03.01/C/1422/2025) menyerukan kewaspadaan yang lebih tinggi, terutama karena negara-negara tetangga melaporkan peningkatan infeksi. Virus ini belum lenyap, begitu juga dengan hoaks yang ada di sekitar.
Di antara kumpulan hoaks yang paling banyak beredar sejak awal pandemi adalah hoaks yang menargetkan vaksin COVID-19. Klaim palsu bahwa vaksin mengandung microchip untuk pengawasan mungkin terdengar aneh, tetapi hal itu berhasil menarik perhatian.
Terdapat juga hoaks lainnya seperti memperingatkan bahwa vaksin dapat menyebabkan kemandulan, penyakit kronis, atau bahkan kematian dalam beberapa tahun. Klaim-klaim ini disebarkan secara luas, bermuatan emosional, dan dibuat tanpa berdasarkan fakta.
Hoaks-hoaks tersebut sendiri sudah dibantah oleh para pihak resmi. World Health Organization (WHO), Kementerian Kesehatan Indonesia, dan produsen vaksin terkemuka telah mengkonfirmasi bahwa vaksin COVID-19 tidak mengandung microchip, tidak membahayakan kesehatan reproduksi, dan aman bagi sebagian besar orang. Namun, di era informasi yang salah, fakta sering kali berjalan lebih lambat daripada ketakutan.
Ketakutan tersebut memiliki konsekuensi yang cukup nyata. Pada puncak pandemi, penerimaan vaksin melambat secara dramatis di beberapa wilayah karena keraguan publik yang dipicu oleh hoaks online. Banyak berita hoaks yang disebarkan oleh orang-orang yang bermaksud baik, seperti anggota keluarga, teman, atau influencer yang tidak berhenti untuk memverifikasi apa yang mereka unggah.
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk melawan narasi-narasi ini. Kampanye kesehatan masyarakat, penjangkauan media sosial, dan kolaborasi dengan para pemuka agama telah membantu meredakan skeptisisme yang beredar. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga telah digunakan untuk menindak sumber-sumber disinformasi yang berbahaya. Namun, tantangan belum sepenuhnya teratasi.
Terdapat juga gelombang baru hoaks menargetkan apa yang disebut “Pandemic Treaty,” sebuah kerangka kerja global untuk kerja sama krisis kesehatan di masa depan. Menurut rumor yang beredar, perjanjian ini akan memaksa negara-negara untuk menyerahkan kedaulatan dan memberikan mandat vaksin. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan memastikan transparansi, tanpa melanggar kedaulatan tata kelola kesehatan nasional.
Informasi yang salah tumbuh subur di lingkungan dengan tingkat literasi digital yang rendah dan kecemasan yang tinggi. Itulah mengapa pendidikan adalah pertahanan terbaik kita. Berpikir kritis, analisis media, dan verifikasi sumber harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Memeriksa fakta sebelum menyebarkan kembali sebuah berita harus menjadi kebiasaan setiap individu.