zetizen

Waspada Hoaks Herbal: Saat Mitos Kesehatan Menyebar Lebih Cepat dari Kebenaran

Life
Source: Freepik

Zetizen - Di tengah kemajuan teknologi informasi, masyarakat Indonesia masih menghadapi tantangan serius, yaitu maraknya hoaks kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan pengobatan herbal.

Hoaks semacam ini bukan sekadar gangguan komunikasi, tetapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan publik. Berbagai informasi tidak akurat tentang khasiat tanaman herbal yang diklaim bisa menyembuhkan penyakit berat, seperti stroke dan kanker, menyebar luas melalui media sosial dan grup percakapan pribadi seperti WhatsApp.

Fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan catatan MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), sepanjang tahun 2023 terdapat setidaknya 150 konten hoaks terkait isu kesehatan yang tersebar di ruang digital Indonesia.

Salah satu contoh nyata adalah klaim yang menyebut bahwa air rebusan daun salam dan jahe bisa menyembuhkan stroke menahun. Narasi semacam ini menyebar cepat, sering kali dibumbui dengan testimoni palsu atau kalimat “ribuan orang sudah membuktikan”. Akibatnya, banyak orang yang mempercayainya tanpa terlebih dahulu mencari kebenaran ilmiahnya.

Maraknya hoaks herbal ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan hoaks begitu mudah diterima dan dipercaya. Pertama, rendahnya literasi kesehatan dan digital masyarakat. Banyak orang masih menganggap bahwa “yang alami pasti aman” dan “yang diwariskan nenek moyang pasti manjur”, tanpa mempertimbangkan aspek ilmiah atau risiko yang menyertainya.

Kedua, hoaks sering dibungkus dalam narasi emosional, mengandung harapan kesembuhan instan dan murah, sesuatu yang sangat menggoda, terutama bagi mereka yang frustrasi dengan pengobatan medis.

Ketiga, media sosial memberi ruang yang luas bagi penyebaran informasi tanpa filter. Akun-akun tidak kredibel, bahkan anonim, bisa dengan mudah menyebarkan hoaks dan mendapat ribuan tayangan dalam waktu singkat. Ironisnya, informasi dari sumber resmi seperti Kementerian Kesehatan, WHO, atau dokter sering kalah pamor dibanding konten viral yang tidak berdasar.

Dampaknya sangat serius. Banyak pasien yang menunda atau bahkan menolak pengobatan medis karena terpengaruh informasi menyesatkan. Interaksi antara obat medis dan herbal juga bisa berbahaya jika tidak dikonsultasikan dengan tenaga medis. Lebih jauh lagi, hoaks semacam ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi kesehatan dan tenaga profesional.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pemerintah memang memiliki peran utama dalam regulasi dan edukasi, tetapi masyarakat juga memegang peranan kunci dalam melawan hoaks, terutama di tingkat komunitas. Generasi muda dan mahasiswa, sebagai pengguna aktif media sosial dan pemilik akses luas terhadap informasi, seharusnya menjadi ujung tombak dalam perang melawan disinformasi.

Edukasi publik menjadi langkah penting. Mahasiswa dan pelajar bisa membuat konten kreatif berbasis fakta, seperti infografis, video pendek, atau artikel edukatif yang membongkar hoaks dan memberikan penjelasan ilmiah yang mudah dipahami. Platform pengecek fakta seperti TurnBackHoax.id dan CekFakta.com juga perlu lebih sering disosialisasikan kepada masyarakat awam.

Selain itu, literasi digital dan kesehatan harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejak dini. Tidak cukup hanya mengajarkan anak-anak cara menggunakan gadget; mereka juga harus diajarkan cara mengevaluasi informasi dan mengenali sumber yang dapat dipercaya. Kolaborasi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan influencer lokal juga penting agar pesan edukatif dapat diterima lebih luas.

Kita tidak bisa lagi bersikap netral terhadap penyebaran hoaks, apalagi hanya menjadi penonton. Setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk memverifikasi sebelum menyebarkan informasi, dan mengingatkan orang lain dengan cara yang bijak dan santun jika ditemukan informasi menyesatkan.

Hoaks bukan sekadar kekeliruan, ia adalah ancaman nyata terhadap kesehatan, kepercayaan, dan kohesi sosial. Untuk melawannya, dibutuhkan kesadaran kolektif, aksi nyata, dan semangat gotong royong. Jika masyarakat bersatu dalam literasi, maka ruang bagi hoaks akan semakin sempit.

Sudah saatnya kita bersama-sama menyaring informasi sebelum menyebarkannya. Karena menyebarkan kebenaran adalah bentuk kepedulian paling nyata terhadap sesama.

Halaman: