
Zetizen - Bayangkan kalender sekarang menunjukkan bulan Agustus–September. Ini seharusnya menjadi waktu terpanas dalam setahun, dengan jalan berdebu dan pakaian kering dalam hitungan jam. Tapi di Jawa Timur kondisinya malah berbeda,. Banyak orang bingung, “Tunggu, bukankah ini seharusnya musim kemarau? Mengapa masih terasa seperti musim hujan?”
Nah, fenomena unik ini sebenarnya memiliki penjelasan ilmiah. Mari kita telusuri bersama!
Fenomena Musim Kemarau Basah
BMKG menyebut kondisi ini sebagai musim kemarau basah. Artinya, meski secara penanggalan sudah masuk musim kemarau, hujan masih sering turun, bahkan kadang cukup deras di beberapa daerah.
Fenomena ini bukan hal baru, tapi tetap mengejutkan. Orang biasanya menyiapkan topi, tabir surya, dan bahkan teh es jumbo untuk menghadapi panas musim kemarau. Namun, bertentangan dengan ekspektasi, mereka akhirnya harus membawa payung dan jas hujan.
Mengapa Hujan Turun di Musim Kemarau?
Ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan cuaca di Jawa Timur berada di antara musim kemarau dan musim hujan. Berikut adalah penyebab utamanya:
1. Osilasi Madden-Julian (MJO)
Bayangkan MJO sebagai gelombang atmosfer raksasa yang berputar dari Samudra Hindia. Waktu MJO di Indonesia aktif, hujan lebih mudah terbentuk dengan. Akibatnya, meskipun seharusnya kering, Jawa Timur sering mengalami hujan.
2. Suhu Laut yang Lebih Hangat
Laut Jawa, Selat Madura, dan perairan sekitarnya saat ini lebih hangat dari biasanya. Akibatnya? Uap air naik dari laut dan akhirnya membentuk awan. Tak lama kemudian, awan-awan tersebut turun dalam bentuk hujan.
3. Angin Muson yang Tidak Stabil
Normalnya, angin muson timur membawa udara kering dari Australia. Tapi, terkadang arus angin bertabrakan dengan uap air dari laut tropis. Setelah masuk ke Jawa Timur, hujan lokal terbentuk secara otomatis.
Dampak Positif dan Negatif: Fenomena ini bagai pisau bermata dua
Dampak Positif:
• pasokan air untuk aliras sawah di beberapa daerah seperti perkotaan tetap tersedia.
• Di bandingkan dengan musim kemarau pada umumnya dengan adanya fenomena ini udara menjadi lebih adem.
• Risiko kebakaran hutan atau lahan berkurang.
Dampak Negatif:
• Aktivitas sehari-hari terganggu, terutama bagi mereka yang sering mengendarai motor tanpa perlengkapan hujan.
• Risiko banjir tiba-tiba di daerah perkotaan meningkat karena sistem drainase tidak siap menghadapi hujan deras.