zetizen

Mengulik Fakta Menarik di Balik Film “1 Kakak 7 Ponakan”, Drama Keluarga yang Relatable Banget

Movie
Source : TIX.ID

Zetizen - Di tengah kesunyian bioskop Jakarta pada Januari 2025, layar menyala memperlihatkan Moko (diperankan Chicco Kurniawan), seorang lulusan arsitektur dengan segudang impian, mulai terguncang ketika kakaknya, Agnes, dan suami tercinta Atmo meninggal tiba‑tiba.

Kepergian mereka membuat hidup Moko berubah total: dari fokus pada karier dan cinta dengan pacarnya, Maurin (Amanda Rawles), ia harus membesarkan tidak hanya tiga keponakan Agnes, Woko, Nina, dan bayi Ima, tetapi juga satu anak lagi, Ais, titipan mantan gurunya. Secara total, Moko menjadi figur tulang punggung untuk tujuh anak yatim piatu, mewujudkan makna judul film ini: satu kakak, tujuh ponakan.

Film ini bukan sekadar adaptasi sinetron lama karya Arswendo Atmowiloto tahun 1996, tetapi hasil kerja interpretatif sutradara Yandy Laurens yang menyulap alur lawas menjadi kisah yang relevan dengan milenial: gelombang besar kehidupan yang menyapu ambisi individu demi bertahan bagi keluarga. Adaptasi ini diawali dengan world premiere pada Jogja‑NETPAC Asian Film Festival ke‑19 pada 7 Desember 2024, sebelum dirilis serentak di semua bioskop Indonesia sejak 23 Januari 2025.

Sebagai film yang mengusung tema sandwich generation, kehadiran Moko memberi gambaran nyata tentang tekanan sosial, melayani dua generasi sekaligus tanpa ruang untuk menghirup napas pribadi. Lewat visual minimalis yang digarap sinematik oleh Dimas Bagus Triatma, narasi muncul melalui empty space, wide-angle shot, dan transisi halus tanpa berlebihan. Setiap adegan, seperti wisuda atau momen di pantai, dibiarkan mengalir tanpa musik latar dramatis, sehingga emosi muncul secara natural, bukan eksploitasi.

Proses syuting film ini melibatkan bayi Imah yang usianya kurang dari satu bulan. Source : TIX.ID

Sejak diputar, film ini meraih sorotan luar biasa: tembus satu juta penonton dalam waktu kurang dari tiga minggu. Data dari Popmama menyebutkan capaian itu sebagai indikator kuat bahwa nilai cerita terasa dekat dan menyentuh banyak kalangan penonton.

Faktanya pun tak sedikit yang menarik perhatian. Proses syuting film ini melibatkan bayi Imah yang usianya kurang dari satu bulan, demi menampilkan keautentikan perannya sebagai ponakan bungsu. Tim produksi menyiapkan bidan profesional serta menjaga suhu lokasi set serupa ruang rumah, mengikuti pola tidur bayi agar tidak menimbulkan stres.

Selain itu, yang tak terduga adalah penampilan cameo David Gadgetin, YouTuber gadget populer di Indonesia. Sekitar dua menit adegan singkat munculnya David sebagai penjual laptop sukses mencuri perhatian penonton dan memancing tawa hangat di tengah drama yang emosional.

Proses kreatif film ini pun mendapatkan sentuhan unik. Alih-alih dialog biasa, para aktor mengikuti reading camp selama lima hari penuh dalam satu rumah. Teknik ini mempererat chemistry antar pemain, dari Chicco Kurniawan hingga Amanda Rawles, Fatih Unru, Freya JKT48, dan Ringgo Agus Rahman—serta mematangkan pemahaman karakter sehingga terasa jujur dan mengena.

Secara visual, gaya penyutradaraan Yandy Laurens mampu menahan momen-momen klimaks hingga akhir. Foreshadowing ditahan sehingga pelukan haru antara Moko dan ponakan hanya muncul secara flashback bertahap menjelang akhir, membentuk efek memperkuat emosi ketimbang puncak dramatis yang biasa. Teknik editing ini menjadi ciri khas menyampaikan emosi tanpa memaksakan tangis atau adegan bombastis.

Beberapa kritikus menyebut bahwa film ini bukan sekadar drama sedih namun refleksi kehidupan yang realistis. Konflik dengan karakter yang berbeda (seperti Woko yang pemberontak, Nina yang sensitif, dan Ano yang jenaka) memberikan dimensi dinamis pada struktur keluarga Moko. Di tengah kesulitan ekonomi dan dilema impian, penonton juga disuguhkan momen ringan yang menghadirkan senyum dan harapan.

Kehadiran Ringgo Agus Rahman sebagai Mas Eka menjadi scene stealer dalam film ini. Sosok yang familier di tengah masyarakat, diperankan dengan natural, memberi keseimbangan antara humor dan realitas keluarga sehari-hari.

Penutup film tidak memberi akhir yang penuh sensasi, tetapi sebuah ruang untuk merenung: Moko mungkin kehilangan mimpi jalan jauh, namun ia menemukan cinta baru, rasa tanggung jawab, dan kehidupan yang penuh warna bersama keluarga kecilnya. Film ini, meski mengangkat tema berat, justru membebaskan hati penonton untuk merasakan haru tanpa harus menangis dramatis, sentuhan sutradara dan narasi visual menjadi pelukan lembut bagi siapa pun yang menonton.