zetizen

Generasi Multitasking: Dengerin Musik, Belajar, dan Scroll TikTok Barengan Tuh Efektif Nggak Sih?

Life
Multitasking, Source: istockphotos

Zetizen - Coba deh jujur, siapa di sini yang kalau belajar sambil dengerin musik, terus tangannya nggak bisa diem buka TikTok? Atau pas ngerjain tugas kuliah, masih sempet bales chat di grup, bahkan nyempetin buka Shopee. Nah, kalau iya, berarti kamu bagian dari “generasi multitasking” alias anak muda yang terbiasa ngerjain banyak hal sekaligus.

Multitasking Jadi Budaya Anak Muda

Generasi sekarang udah kebiasa multitasking sejak kecil. Dari ngerjain PR sambil dengerin TV, sampai sekarang kuliah online sambil buka game di HP. Rasanya aneh kalau cuma fokus ke satu hal aja.

Apalagi dengan dunia digital yang serba cepat, informasi terus datang tanpa henti. Notifikasi WA bunyi, ada DM Instagram masuk, tiba-tiba FYP TikTok muncul video lucu. Otak kita dipaksa buat loncat-loncat dari satu hal ke hal lain.

Buat sebagian orang, ini dianggap keren: bisa belajar, kerja, sekaligus update sosial media. Tapi sebenernya, efektif nggak sih?

Fakta Ilmiah: Otak Kita Nggak Benar-Benar Multitasking

Menurut penelitian dari American Psychological Association, otak manusia sebenernya nggak bisa multitasking dalam arti mengerjakan dua hal sekaligus. Yang terjadi adalah task switching, alias pindah fokus dengan cepat dari satu kegiatan ke kegiatan lain.

Jadi pas kita bilang lagi multitasking, misalnya nulis esai sambil buka TikTok, otak sebenernya bolak-balik fokus. Dan tiap kali berpindah fokus, ada biaya kecil: waktu dan energi mental yang kebuang.

Nggak heran kalau sering multitasking, kita cepat capek, gampang lupa, dan hasil kerjaan kurang maksimal.

Tapi… Multitasking Juga Punya Plusnya

Bukan berarti multitasking itu selalu jelek. Ada beberapa sisi positifnya:

  1. Musik bisa jadi booster mood. Buat sebagian orang, belajar sambil dengerin musik bikin lebih fokus. Apalagi kalau lagunya instrumental atau tanpa lirik.

  2. Kerjaan ringan bisa sambil dilakukan barengan. Misalnya beresin kamar sambil teleponan, atau commuting sambil dengerin podcast.

  3. Bikin otak lebih fleksibel. Karena sering pindah fokus, otak jadi terbiasa beradaptasi dengan cepat.

Jadi sebenarnya kuncinya ada di jenis aktivitas. Kalau dua-duanya butuh konsentrasi penuh, kayak belajar sama scroll medsos, biasanya malah saling ganggu. Tapi kalau salah satunya ringan, multitasking bisa jadi efisien.

Multitasking ala Gen Z: Adaptasi atau Tekanan?

Fenomena multitasking ini juga bisa dilihat dari sisi budaya. Gen Z tumbuh di era digital dengan arus informasi yang deras. Mau nggak mau, kemampuan buat switch antar-aktivitas jadi semacam survival skill.

Tapi di sisi lain, kebiasaan multitasking bisa bikin kita susah fokus dalam jangka panjang. Otak jadi terbiasa dengan distraksi, sehingga agak sulit kalau harus mengerjakan sesuatu yang butuh konsentrasi lama, misalnya baca buku tebal atau riset mendalam.

Jadi, Efektif atau Nggak?

Jawabannya: tergantung. Multitasking bisa membantu kalau dipakai buat hal-hal ringan, tapi untuk pekerjaan atau belajar yang butuh fokus, single-tasking tetap lebih efektif.

Halaman: