
Zetizen - Di Indonesia, istilah jam karet udah jadi hal yang lumrah. Tapi di Korea Selatan, konsep waktu justru diperlakukan sebaliknya. Di sana ada budaya unik bernama ppali-ppali yang artinya cepat-cepat.
Istilah ini bukan cuma sekadar kata, tapi udah mendarah daging dalam keseharian masyarakat Korea. Semua hal harus dilakukan dengan cepat dan efisien, mulai dari cara jalan, makan, kerja, sampai urusan layanan publik.
Buat orang asing, budaya ini sering bikin kaget. Rasanya kayak dunia bergerak 2 kali lebih cepat. Tapi buat orang Korea sendiri, hidup serba gesit justru dianggap sebagai cara hidup normal.
Dari Mana Asalnya?
Budaya ppali-ppali lahir setelah perang Korea di tahun 1950 an, ketika negara itu hancur total dan masyarakat harus bangkit secepat mungkin. Kecepatan dianggap kunci buat bertahan hidup sekaligus mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Waktu itu, negara mereka hancur dan butuh bangkit secepat mungkin. Kecepatan dan efisiensi jadi kunci utama buat membangun ekonomi. Dari situlah mentalitas bergerak cepat terbentuk dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Sekarang, ppali-ppali bukan cuma sekadar kebiasaan, tapi sudah jadi ciri khas budaya. Bagi masyarakat Korea, bergerak cepat artinya menghargai waktu, baik waktu sendiri maupun orang lain.
Hidup Serba Gesit
Begitu sampai di Korea, nggak sulit buat nyadar kalau ppali-ppali udah jadi bagian dari rutinitas harian masyarakatnya. Di stasiun subway, orang-orang jalan cepat banget, jarang ada yang leyeh-leyeh. Di restoran, makanan datang dalam hitungan menit dan kebanyakan orang makan dengan tempo kilat juga.
Bahkan urusan layanan publik ikut terbawa budaya ini. Urus kartu transportasi, periksa di rumah sakit, sampai pesan barang online semuanya bisa selesai dalam waktu singkat. Nggak heran kalau orang asing sering heran dengan betapa efisiennya sistem di sana.
Cerita serupa juga datang dari Xaviera Putri, influencer asal Indonesia yang kini tinggal di Korea Selatan. Lewat salah satu postingannya, dia bilang kalau awalnya ppali-ppali bikin kaget karena semua serba cepat. Tapi lama-lama, kebiasaan ini bisa nular juga dan bikin dirinya jadi lebih menghargai waktu.
Sisi Positif dan Tekanan yang Mengintai
Nggak bisa dipungkiri, budaya ppali-ppali punya banyak sisi positif. Transportasi umum hampir selalu tepat waktu, pelayanan publik jarang bikin ribet dan orang jadi terbiasa disiplin. Efisiensi ini jelas bikin kehidupan sehari-hari lebih praktis.
Tapi, ada juga sisi lainnya. Hidup dengan serba cepat bisa bikin orang gampang stres. Tekanan untuk selalu bergerak cepat bikin waktu santai jadi berkurang. Banyak yang merasa mereka harus selalu produktif, sampai-sampai lupa menikmati momen kecil dalam hidup.
Cocok Nggak Buat Gen Z Indonesia?
Nah, kalau budaya ini dibawa ke Indonesia, kira-kira cocok nggak ya? Di satu sisi, kita bisa banget belajar soal menghargai waktu dan efisiensi. Bayangin kalau pelayanan publik di sini bisa seefisien Korea, pasti banyak yang seneng.
Tapi di sisi lain, Indonesia juga punya ciri khas dengan budaya santainya yang hangat dan penuh interaksi sosial. Masyarakat Indonesia biasanya nggak lupa menyempatkan waktu buat sekadar ngobrol, bercanda, atau hang out bareng teman dan keluarga. Kalau terlalu cepat, bisa jadi kita kehilangan rasa kebersamaan itu.
Mungkin, kayak kata Xaviera, kuncinya ada di keseimbangan. Kita bisa adopsi semangat ppali-ppali untuk hal-hal produktif seperti belajar, kerja atau ngejar target. Tapi di waktu lain, jangan lupa kasih ruang buat slow living nikmatin kopi, healing atau quality time bareng orang terdekat.
Jadi, kamu tim ppali-ppali yang serba cepat, atau tim slow living khas Indonesia yang santai tapi tetap produktif?