zetizen

Delayed gratification: Ketika Kesabaran Menjadi Investasi Masa Depan

Life
Source : iStock

Zetizen - Di tengah budaya instan yang menawarkan segalanya dengan cepat, kita sering lupa bahwa proses membutuhkan waktu.

Dari belanja online yang sampai dalam sehari, layanan streaming tanpa jeda, hingga informasi yang tersedia dalam hitungan detik, kemampuan untuk menunda keinginan seolah menjadi barang langka.

Padahal, keterampilan ini, yang dikenal dengan istilah delayed gratification, justru menjadi salah satu kunci keberhasilan jangka panjang dalam kehidupan.

Menunda kepuasan sesaat demi tujuan yang lebih besar bukanlah perkara mudah.

Namun, budaya ini diyakini mampu melatih kedewasaan, tanggung jawab, dan ketahanan mental seseorang. Dalam dunia yang penuh distraksi, kemampuan untuk menahan diri layak untuk dipelajari dan dilatih.

Delayed gratification adalah kemampuan menunda menerima imbalan kecil yang tersedia sekarang demi memperoleh imbalan yang lebih besar di masa depan.

Konsep ini pertama kali diuji melalui Marshmallow Test yang dilakukan oleh psikolog Walter Mischel pada akhir tahun 1960-an.

Dalam eksperimen tersebut, anak-anak diberikan pilihan: makan satu marshmallow sekarang atau menunggu 15 menit untuk mendapatkan dua marshmallow.

Penelitian lanjutan menemukan bahwa anak-anak yang mampu menunggu cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih baik, kontrol emosi yang lebih tinggi, dan hubungan sosial yang lebih sehat saat dewasa.

Meskipun dilakukan di lingkungan laboratorium, eksperimen ini merepresentasikan tantangan nyata yang dihadapi oleh banyak orang: memilih kenyamanan jangka pendek atau berkomitmen pada hasil yang lebih baik di masa depan.

Dalam era digital, godaan untuk mencari kepuasan instan sangat besar. Notifikasi media sosial, diskon daring, hingga dorongan konsumtif menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda.

Survei American Psychological Association (APA) tahun 2022 menunjukkan bahwa 59% Gen Z di Amerika mengalami kesulitan menahan dorongan untuk segera memperoleh sesuatu, baik berupa materi maupun validasi sosial.

Di Indonesia, fenomena ini juga terlihat pada gaya hidup konsumtif yang semakin meningkat. Data dari Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa generasi muda cenderung menggunakan layanan paylater bukan untuk kebutuhan mendesak, melainkan untuk gaya hidup dan hiburan.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menunda keinginan masih menjadi tantangan yang perlu diatasi secara kolektif.

Menunda keinginan bukan berarti mengabaikan kebahagiaan, tetapi justru menempatkan kepuasan pada konteks yang lebih matang. Beberapa manfaat dari budaya ini antara lain:

Halaman: