zetizen

Ghost Train (2025): Horor Korea yang Nggak Cuma Bikin Merinding, Tapi Juga Nyentil Obsesi Zaman Digital

Movie
Ghost Train. Source: IMDb

Zetizen - Bayangin kamu lagi berdiri sendirian di peron bawah tanah. Lampu neon berkelip, suara kereta yang harusnya lewat tiba-tiba hilang, dan angin dingin entah dari mana nyapu wajahmu.

Dari jauh, ada siluet penumpang berdiri diam, seolah menunggumu untuk ikut naik. Kedengerannya kayak cerita horor di forum online? Nah, suasana inilah yang ditransfer habis-habisan lewat film Ghost Train (2025).

Film horor Korea Selatan garapan Tak Se-woong ini rilis di Indonesia pada 25 Juli 2025 dan langsung jadi bahan obrolan. Bukan cuma karena adegan seremnya, tapi juga karena cara film ini ngebawa urban legend stasiun Gwanglim ke layar lebar dengan cara yang fresh.

Dari “Ratu Horor” Jadi Korban

Tokoh utama kita, Da Kyung (Joo Hyun-young), awalnya bukan orang sembarangan. Dia pernah dijuluki “ratu horor YouTube”, tapi popularitasnya turun gara-gara kalah pamor sama konten kecantikan yang lagi booming. Frustasi, Da Kyung nekat cari cara comeback, dan pilihannya jatuh ke Gwanglim, stasiun angker yang penuh rumor.

Awalnya, niat Da Kyung sederhana: bikin konten seru-seruan demi views. Kepala stasiun (Jeon Bae-soo) pun gampang banget dibujuk cuma dengan sebotol alkohol. Tapi begitu kamera mulai merekam, batas antara “konten” dan “teror nyata” makin kabur. Yang Da Kyung kejar demi subscriber justru berubah jadi jerat maut.

Horor dengan Rasa Antologi

Yang bikin Ghost Train beda adalah formatnya. Alih-alih satu cerita linear, film ini disusun kayak kumpulan kisah horor urban legend. Ada lima cerita, mulai dari hantu penumpang misterius, kisah bunuh diri yang nggak pernah bisa dijelasin, sampai tragedi masa lalu yang keburu terkubur. Semua cerita itu berputar di satu tempat: Stasiun Gwanglim.

Di tengah itu, kisah Da Kyung jadi benang merah. Dia bukan cuma saksi, tapi juga korban dari labirin kegelapan stasiun bawah tanah ini.

Cermin Obsesi Zaman Digital

Di balik semua jumpscare dan bisikan arwah, Ghost Train juga punya sisi reflektif. Da Kyung mewakili banyak kreator zaman sekarang yang rela ngelakuin apa aja demi viral. Film ini kayak mau bilang: “Hati-hati, kalau kamu terlalu haus perhatian, bisa jadi kamu sendiri yang ditelan.”

Kritik ini makin kerasa karena dikemas dalam suasana urban legend, sesuatu yang sering kita konsumsi sebagai hiburan di internet, tapi kadang lupa kalau obsesi itu bisa balik menghantui.

Bukan Sekadar Takut, Tapi Juga Ngingetin

Yang bikin Ghost Train spesial adalah keseimbangannya. Di satu sisi, film ini berhasil bikin merinding lewat atmosfer mencekam, bukan sekadar jump scare. Di sisi lain, ada pesan moral yang nyentuh banget: ambisi tanpa batas bisa bikin orang lupa siapa dirinya.

Dan di sinilah letak keistimewaannya. Ghost Train bukan sekadar film horor untuk ditonton di bioskop. Ia kayak jadi “cermin” yang bikin kita mikir, apa kita juga pernah seambisius Da Kyung dalam ngejar validasi digital?