
Zetizen - Belakangan ini, perhatian warganet tertuju pada tradisi khas Riau yang mulai mencuri sorotan dunia: Pacu Jalur. Semua berawal dari sebuah video viral yang memperlihatkan seorang anak kecil menari di ujung perahu kayu panjang saat perlombaan berlangsung. Aksi lincahnya bukan hanya memukau penonton lokal, tetapi juga memicu tren baru yang dikenal sebagai Aura Farming. Di balik viralnya momen tersebut, tersimpan kekayaan budaya yang luar biasa dan sejarah panjang yang layak untuk dikenang dan dilestarikan.
Menelusuri Jejak Sejarah Pacu Jalur
Pacu Jalur adalah lomba mendayung tradisional yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Tradisi ini telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat setempat dan diselenggarakan setiap tahun dalam bentuk festival besar-besaran. Berdasarkan informasi dari laman resmi Kemenparekraf, nama "jalur" merujuk pada perahu tradisional yang dibuat dari sebatang kayu utuh tanpa sambungan. Maka dari itu, istilah Pacu Jalur secara harfiah berarti perlombaan adu cepat antara perahu-perahu panjang yang terbuat dari satu batang pohon besar.
Pada abad ke-17, perahu jalur sejatinya bukan digunakan untuk lomba. Ia adalah alat transportasi utama bagi warga yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Kuantan. Saat itu, jalur hanya memiliki bentuk sederhana dan digunakan untuk aktivitas sehari-hari, karena akses darat belum semudah sekarang. Namun, seiring berkembangnya waktu dan kreativitas masyarakat, perahu jalur mulai dimodifikasi, baik dari segi estetika maupun fungsinya, hingga akhirnya dijadikan bagian dari perlombaan rakyat yang penuh semangat dan kebersamaan.
Awalnya, lomba pacu jalur digelar untuk memeriahkan hari besar keagamaan seperti Idulfitri. Namun pada masa kolonial Belanda, tradisi ini diadopsi sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, yang jatuh pada 31 Agustus hingga 2 September. Meskipun telah melalui berbagai fase sejarah, semangat masyarakat dalam melestarikan tradisi ini tetap tidak luntur.
Makna Filosofis di Balik Deru Dayung
Pacu jalur bukan sekadar adu cepat mendayung. Setiap tahapan, mulai dari pembuatan jalur hingga pelaksanaan lomba, mengandung nilai-nilai luhur. Sebelum membuat perahu, masyarakat harus terlebih dahulu melakukan ritual khusus untuk meminta izin menebang pohon di hutan. Ini mencerminkan hubungan spiritual yang kuat antara manusia dan alam dalam budaya lokal.
Setelah proses pembuatan selesai, perahu jalur bisa menampung 50 hingga 60 orang yang disebut anak pacu. Dalam satu perahu, setiap orang memiliki peran yang spesifik dan tak tergantikan. Ada Tukang Concang yang memberikan aba-aba, Tukang Pinggang yang mengendalikan arah, Tukang Onjai yang menjaga irama gerakan, serta Anak Coki—penari cilik di bagian depan perahu.
Peran Anak Coki sangat unik. Mereka bukan hanya sekadar hiasan atau penambah semangat, melainkan simbol ekspresi emosi kolektif tim. Saat timnya unggul, Anak Coki menari dengan ekspresi riang. Jika berhasil mencapai garis akhir lebih dulu, mereka bahkan akan bersujud syukur di ujung perahu. Karena tubuh mereka yang ringan, kehadiran Anak Coki tidak menghambat laju perahu—justru memperkuat daya tarik visual lomba.
Festival Pacu Jalur: Merawat Warisan, Menarik Wisatawan
Keunikan Pacu Jalur kini menjadi daya tarik wisata budaya yang kuat. Festival Pacu Jalur yang diadakan setiap tahun tidak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan dari berbagai daerah dan mancanegara. Tradisi yang diwariskan turun-temurun ini menjadi cermin dari semangat gotong royong, kerja sama, serta penghormatan terhadap alam dan leluhur.
Viralnya momen Anak Coki menari di media sosial telah membuka mata dunia terhadap kekayaan budaya Riau yang selama ini jarang terekspos. Bahkan, tren Aura Farming yang berakar dari penampilan mereka memperlihatkan bahwa tradisi lokal mampu bertransformasi menjadi fenomena global yang membanggakan.
Melestarikan, Bukan Sekadar Merayakan
Popularitas sesaat tidak boleh membuat kita terlena. Justru momen ini harus dijadikan pijakan untuk memperkuat upaya pelestarian Pacu Jalur. Tradisi ini adalah milik bangsa Indonesia dan harus dijaga dari klaim pihak lain. Kita semua memiliki peran—baik sebagai warga lokal, kreator konten, maupun penonton—untuk terus memperkenalkan, menghormati, dan merawat kekayaan budaya ini.
Dengan menjadikan Pacu Jalur sebagai bagian dari identitas nasional, kita tidak hanya melestarikan budaya, tapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki warisan yang tak ternilai dan layak dibanggakan.