zetizen

Membangun IKN Tak Cukup dengan Beton, Tapi Juga Kepercayaan Publik

Explore
balpos.com

Zetizen - Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur telah menjadi simbol ambisi besar pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan di luar Pulau Jawa. Namun, di tengah gegap gempita narasi kemajuan, masyarakat dihadapkan dengan realitas informasi yang sumir, penuh klaim sepihak dan tak jarang dibumbui hoax. Ketika komunikasi publik macet dan transparansi minim, ruang kosong itu segera diisi oleh disinformasi yang memperkeruh persepsi terhadap proyek nasional strategis ini.

Proyek senilai Rp 466 triliun ini sering dipromosikan sebagai solusi dari ketimpangan ekonomi antarwilayah. Pemerintah menyebut IKN akan menjadi “kota hutan yang ramah lingkungan” dan “ikon peradaban baru Indonesia”. Namun, kenyataan di lapangan justru memunculkan banyak pertanyaan. Deforestasi yang terjadi sejak 2018 di wilayah IKN tercatat mencapai 22.861 hektare. Lebih dari 44.000 hektare hutan alam masih berada di kawasan ini, tetapi terus terancam oleh proses pembangunan (Katadata,2023).

Tak hanya aspek ekologis yang dikritik. Klaim bahwa pembangunan IKN tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga dipertanyakan. Data per April 2024 menunjukkan bahwa Rp 72,3 triliun dana APBN sudah direalisasikan, dimana jumlah ini setara hampir 20% dari total kebutuhan anggaran. Hal ini tentu bertolak belakang dengan narasi awal yang menyebut keterlibatan swasta akan dominan.

Di sisi sosial, masyarakat adat seperti Suku Balik dan Suku Paser menyuarakan keluhan atas hilangnya lahan dan kurangnya pelibatan dalam proses pembangunan. Mekanisme konsultasi publik dinilai formalistik, sementara klaim tanah adat belum sepenuhnya diakui oleh negara. Pemerintah juga kerap menyebut tidak ada konflik agraria di wilayah IKN. Namun, kenyataan dilapangan menunjukkan sebaliknya, dimana penggusuran tanpa ganti rugi memadai dan ketidakjelasan status tanah terus menjadi sumber keresahan warga.

Masalah utama bukan semata soal teknik pembangunan, tapi soal krisis komunikasi publik. Ketika pemerintah gagal menyampaikan informasi secara terbuka dan jujur, maka disinformasi mengambil alih panggung. Hoax dan narasi palsu menyebar dengan sangat cepat, menciptakan pertarungan opini yang memecah masyarakat ke dalam dua kutub, yakni pendukung dan penolak. Bukannya berdialog, publik justru terjebak dalam debat kusir berbasis asumsi dan persepsi yang salah arah.

Hoax dalam konteks ini menjadi alat adu domba. Isu - isu sensitif seperti agama, etnis, atau kepentingan asing dilibatkan untuk menggiring emosi massa. Akibatnya, fokus publik bergeser dari pertanyaan penting seperti keadilan ruang, keberlanjutan lingkungan, hingga hak masyarakat adat, menjadi sekadar soal pro atau kontra terhadap pembangunan. Ini tentu membahayakan demokrasi informasi kita.

Bukan hanya masyarakat yang terdampak. Pemerintah pun harus menghabiskan energi besar untuk membantah hoax, daripada fokus pada substansi kebijakan. Ini menciptakan lingkaran masalah yang merugikan semua pihak, dimana publik kehilangan kepercayaan, pemerintah kehilangan legitimasi, dan pembangunan kehilangan arah.

Dalam menghadapi tantangan ini, literasi digital menjadi tameng pertama. UNESCO (Wardle & Derakhshan, 2017) mencatat bahwa individu dengan literasi digital tinggi lebih tahan terhadap hoax dan manipulasi informasi. Oleh karena itu, pemerintah bersama lembaga pendidikan dan komunitas sipil harus gencar melakukan kampanye edukasi publik, yakni melalui konten digital yang mudah dipahami, pelatihan daring, hingga kolaborasi dengan sekolah dan kelompok masyarakat lokal.

Namun, literasi saja tidak cukup. Pemerintah perlu menyediakan saluran informasi yang transparan dan mudah diakses. Open data, konferensi pers berkala, pemanfaatan media sosial resmi, hingga publikasi dokumen perencanaan dan anggaran harus menjadi praktek rutin. Rakyat tidak bisa percaya pada sesuatu yang tidak mereka pahami. Ketika ruang informasi kosong. Hoax akan mengisinya tanpa ampun.

Selanjutnya, kolaborasi multi pihak adalah syarat mutlak. Media independen, lembaga verifikasi fakta seperti MAFINDO, akademisi, dan LSM memiliki peran strategis dalam mengisi celah informasi dan mengawal transparansi pembangunan. Mereka bisa menjadi mitra kritis yang memperkuat demokrasi informasi, bukan pengganggu narasi pembangunan.

Ditengah tantangan ini, strategi konkret perlu dijalankan, mulai dari penulisan opini publik di media massa, produksi konten edukatif, pemantauan narasi pemerintah secara kolektif, hingga penyusunan rekomendasi kebijakan (policy brief) ke lembaga seperti Bappenas, Kominfo, dan DPR. Dan yang tak kalah penting, negara harus bersedia membuka telinga dan mendengar suara rakyat, bukan hanya sekadar menggiring dukungan semu.

Pembangunan IKN tak boleh hanya berorientasi pada infrastruktur fisik. Pembangunan yang sejati adalah yang berakar pada kepercayaan sosial. Ketika warga tidak merasa dilibatkan, tidak diinformasikan, atau bahkan dibohongi, maka tak ada “kota masa depan” yang bisa bertahan lama. Karena kota bukan soal gedung, tapi soal orang. Bukan soal beton, tapi soal kepercayaan.