
Zetizen - Isu sosial menjadi salah satu isu masyarakat dengan pemerhati terbanyak, karena adanya kesamaan definisi terhadap kekerasan yang terjadi, seperti bullying. Cukup dengan satu klik, budaya kepedulian netizen hadir di sana. Namun sayang, kebenaran adalah sebuah kebenaran. Tidak peduli berapa banyak pengguna yang menaruhkan peduli dan exposure terhadap sebuah isu, hoax dan bias informasi masih mungkin untuk hadir dan membentuk sebuah polarisasi.
Globalisasi dan kemajuan teknologi membuat persebaran informasi terasa cepat dan tidak terbatas. Sangat memungkinkan dalam 24 jam, netizen menerima pertukaran informasi tanpa batas waktu. Di mana, media sosial seperti X (Twitter) menjadi salah satu media informasi yang tidak pernah “mati.”
Fenomena repost/quote menjadi salah satu budaya paling populer di media sosial tersebut tanpa validasi kebenaran. Terutama pada kasus-kasus tertentu seperti konten emosional dan narasi dramatis yang lebih mudah mendapatkan perhatian netizen dari algoritma yang baik. Situasi ini menimbulkan fenomena click, share, regret: ketika pengguna mengklik dan membagikan informasi yang menarik perhatian, lalu menyesal setelah mengetahui bahwa informasi tersebut ternyata tidak benar. Di mana faktor utamanya adalah minim literasi digital oleh netizen, seperti yang dinyatakan oleh Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).
Studi kasus: Justice for Audrey
Pada 2019, media sosial ramai oleh kabar seorang siswi SMP di Pontianak, Audrey, dianiaya pelajar SMA secara brutal. Tagar #JusticeForAudrey pun viral, memicu kemarahan publik dan tuntutan keadilan. Kasus ini cepat viral di Twitter, dan platform lain, dibagikan oleh influencer, selebriti, hingga tokoh publik tanpa verifikasi.
Dalam waktu singkat, isu ini trending dan petisi online mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan. Pada 5–7 April 2019, isu ini tersebar luas disertai berbagai narasi yang tidak terverifikasi. Arus dukungan dari tokoh publik serta petisi daring membanjiri media sosial, memperkuat persepsi publik bahwa telah terjadi penganiayaan berat.
Namun pada 8 April 2019, pihak kepolisian merilis hasil visum yang menyatakan bahwa luka yang dialami Audrey bersifat ringan. Tidak ditemukan adanya kekerasan ekstrem seperti penyiraman air keras atau pengrusakan alat vital seperti yang sempat ramai diberitakan. Selain itu, jumlah pelaku yang terlibat pun hanya tiga orang, bukan dua belas sebagaimana klaim awal di media sosial.
Munculnya kebenaran ini di publik tentu menerima banyak sekali respon, termasuk menyebabkan sebuah polarisasi masyarakat. Ketika klarifikasi muncul, tidak semua orang menerimanya. Ada yang tetap percaya pada versi awal. Ini menciptakan polarisasi, di mana masyarakat terbelah antara “pembela korban” dan “pembela fakta.” Selain itu, terjadi sebuah Trial Phenomenon by Social Media, di mana masyarakat cenderung menjadi “hakim” pada kasus tersebut. Ini merupakan sebuah dampak negatif yang memunculkan kultur cyberbullying yang hadir.
Hoax yang berkaitan dengan isu sosial seperti perundungan (bullying) cenderung cepat tersebar karena menyentuh emosi publik, terutama rasa marah, empati, dan keadilan, yang membuat orang terdorong untuk segera membagikannya tanpa memeriksa kebenarannya.
Tantangannya, Banyak orang merasa membagikan kasus seperti ini adalah bentuk solidaritas atau dukungan moral terhadap korban, atau tak jarang merasa FOMO (Fear of Missing Out,) terutama ketika narasi yang disajikan menyentuh hati dan memicu empati Seperti yang dikutip dari DailySocial.id, di mana 44% orang Indonesia cenderung tidak bisa membedakan berita hoax/fakta, dan hasil survei oleh Massachusetts Institute of Technology yang menyatakan bahwa Berita hoax cenderung digemari dan disebarkan 70% lebih cepat dibandingkan berita fakta di Twitter.
Strategi yang perlu hadir di masyarakat, merupakan pembiasaan berpikir secara kritis dan peningkatan literasi digital sejak dini, karena hal tersebut merupakan sebuah pre-requisite penting untuk melawan penyebaran disinformasi. Tentu masyarakat tidak bisa melakukan strategi ini sendirian. Perlu adanya kolaborasi antar pemangku kepentingan, seperti pemerintah, media, LSM, dan aktor-aktor lainnya untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat dan berkelanjutan.