zetizen

Mitos Cinta Terlarang: Menelusuri Sejarah di Balik Larangan Pernikahan Sunda-Jawa

Life
Siger Sunda. Source: Pinterest by Ragita Karunia

Zetizen - Pernah dengar mitos kalau orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa? Sampai sekarang, isu ini masih sering jadi bahan obrolan, seolah-olah ada cinta terlarang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi, apa sebenarnya yang melatarbelakangi larangan ini? Jawabannya ada pada sebuah peristiwa tragis dalam sejarah Perang Bubat.

Dari Pernikahan Politik Jadi Pertumpahan Darah

Dalam buku Tata Negara Majapahit karya Muhammad Yamin (Firmaningsih, 2021), Perang Bubat disebut sebagai bagian dari ambisi Majapahit untuk menundukkan Kerajaan Sunda, sesuai dengan Sumpah Palapa Gajah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara. Ceritanya berawal dari rencana pernikahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, dengan putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi.

Awalnya, rencana ini tampak sebagai pernikahan politik yang bisa mempererat dua kerajaan besar. Alih-alih melihatnya sebagai prosesi pernikahan, Gajah Mada menilai kedatangan Prabu Linggabuana dan rombongannya ke Majapahit sebagai simbol tunduknya Sunda. Dari sinilah konflik mulai memanas.

Tragedi di Lapangan Bubat

Pada tahun 1357 M, rombongan Sunda yang sebenarnya datang tanpa persiapan perang justru diserang di Lapangan Bubat, Trowulan, Jawa Timur. Pertempuran berlangsung tidak seimbang. Prabu Linggabuana tewas di medan perang, sementara Dyah Pitaloka yang seharusnya menjadi mempelai memilih mengorbankan nyawanya demi menjaga martabat keluarga.

Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Sunda. Sebagai bentuk kekecewaannya, Niskala Wastu Kencana, putra mahkota Sunda, mengeluarkan larangan mutlak atas segala hubungan dengan Majapahit, termasuk ikatan pernikahan. Larangan inilah yang kemudian berkembang menjadi mitos yang masih sering dipercaya sampai sekarang.

Sisa Luka Sejarah atau Sekadar Cerita Rakyat?

Kisah Perang Bubat terekam dalam naskah kuno seperti Kidung Sunda, Serat Pararaton, dan Naskah Parahiyangan. Namun, menariknya, kitab utama sejarah Majapahit, Nagarakretagama karya Empu Prapanca, sama sekali tidak menyebut peristiwa ini. Hal inilah yang membuat beberapa sejarawan ragu apakah Perang Bubat benar-benar terjadi atau hanya cerita rakyat yang diperbesar.

Arkeolog Universitas Indonesia bahkan masih memperdebatkan lokasi pasti Lapangan Bubat. Ada yang menyebut daerah Tempuran, ada juga yang menduga bekas kanal di sekitar situs Tribhuwana Tunggadewi. Meski begitu, memori kolektif masyarakat terutama Sunda menyimpan tragedi ini sebagai bagian dari luka sejarah yang sulit dilupakan.

Mitos yang Terus Hidup

Perang Bubat pun menjadi asal mula munculnya mitos tentang larangan menikah antara orang Sunda dan Jawa. Namun, menurut sejumlah peneliti (Supriatin, 2018), larangan ini sebenarnya hanya mitos belaka karena tidak ada landasan ilmiah maupun hukum adat yang mengaturnya.

Hari ini, banyak pasangan Sunda-Jawa yang berhasil membuktikan bahwa cinta bisa menyatukan perbedaan. Mitos ini akhirnya lebih sering dianggap sebagai bagian dari cerita rakyat yang menarik untuk dipelajari, bukan sebagai larangan mutlak.

Jadi, kisah cinta Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk yang tak pernah terwujud itu telah berubah jadi legenda cinta terlarang Sunda-Jawa. Entah nyata atau mitos, cerita ini tetap jadi bagian penting dari sejarah Nusantara.