zetizen

Gerah Maksimal! Fakta Unik di Balik Panasnya Kota Pahlawan

Dear You
Patung Pahlawan. Source: Pinterest By Ari Afandi

Zetizen - Surabaya itu kota yang selalu punya cerita. Dari sejarah heroik para pahlawan sampai geliat modernisasi yang bikin wajah kota makin maju. Tapi ada satu hal lain yang nggak bisa dipisahkan dari Surabaya: panasnya yang kebangetan.

Siapa pun yang pernah tinggal atau sekadar mampir pasti bakal setuju kalau teriknya matahari di Surabaya seakan punya level sendiri. Baru keluar rumah sebentar aja, keringat langsung ngalir kayak habis lari marathon.

Fenomena ini bukan cuma keluhan warganya, tapi juga fakta yang tercatat dalam data cuaca. Suhu di siang hari bisa menembus 33-35 derajat Celsius, bahkan kadang lebih saat puncak musim kemarau. Jadi, kalau kamu merasa Surabaya lebih panas dibanding kota lain, itu bukan sekadar sugesti.

Kota Beton yang Menyimpan Panas

Salah satu alasan utama panasnya Surabaya ada pada wajah kotanya sendiri. Gedung-gedung tinggi, jalanan beraspal, rumah-rumah padat, dan kawasan industri membentang luas tanpa banyak ruang hijau yang bisa jadi penyaring panas.

Kondisi ini menciptakan fenomena yang dikenal sebagai urban heat island, yaitu ketika panas matahari terserap oleh material kota lalu terjebak dan dipantulkan kembali ke udara.

Itulah sebabnya, meski malam sudah tiba, suhu tetap berasa gerah. Panas yang disimpan jalanan dan bangunan di siang hari masih bertahan, membuat udara Surabaya jarang benar-benar adem. Wajar kalau warga akhirnya menganggap kipas angin atau AC sebagai kebutuhan pokok yang sama pentingnya dengan listrik itu sendiri.

Panas Kering yang Bikin Dehidrasi

Banyak orang mengira kota pesisir identik dengan udara lembap. Namun, Surabaya punya cerita berbeda. Di siang hari, kelembapan relatifnya bisa turun hingga sekitar 50-60 persen, apalagi saat musim kemarau. Angin timur dari Australia membawa udara kering, sehingga tubuh terasa cepat haus.

Keringat yang keluar pun lebih cepat menguap, bikin kita merasa makin gerah dan gampang dehidrasi. Kondisi ini sering bikin warga harus rajin minum air, bahkan sebelum merasa haus.

Anak muda yang banyak beraktivitas di luar rumah, entah itu kuliah, nongkrong, atau sekadar naik motor, paling sering merasakan efek ini. Nggak heran kalau tumbler jadi barang wajib yang dibawa ke mana-mana.

Malam yang Tak Selalu Menyelamatkan

Buat banyak kota lain, malam biasanya jadi waktu paling ditunggu karena udaranya lebih adem. Tapi di Surabaya, harapan itu sering pupus. Udara memang lebih lembap, tapi panas yang sudah terjebak di jalanan dan bangunan siang harinya nggak serta-merta hilang.

Hasilnya, meski malam sudah datang, keringat tetap saja mengalir. Banyak warga akhirnya terbiasa tidur dengan kipas menyala semalaman. Mahasiswa rantau sering bercanda bahwa hidup di Surabaya tanpa kipas angin itu sama aja dengan ikut survival mode.

Musim Kemarau yang Makin Ekstrem

Selain faktor kota beton, panas Surabaya juga diperparah oleh faktor musiman. Saat kemarau, terutama antara Juli sampai Oktober, suhu bisa terasa lebih ekstrem. Angin kering dari Australia membawa hawa panas yang bikin siang hari semakin terik.

Kalau sudah begitu, aktivitas di luar ruangan jadi lebih berat. Nongkrong siang hari bisa berubah jadi tantangan, dan banyak orang memilih menunda aktivitas sampai sore atau malam. Kehidupan sosial pun ikut terbentuk dari kebiasaan ini, dengan pusat keramaian biasanya ramai menjelang malam ketika udara sedikit lebih bersahabat.

Meski panasnya luar biasa, warga Surabaya tetap menunjukkan ketangguhan yang jarang ditemui di kota lain. Mereka tetap beraktivitas normal, dari bekerja, kuliah, sampai nongkrong, meski matahari terik menyengat. Karakter blak-blakan dan energi besar yang melekat pada orang Surabaya sering dianggap terbentuk juga karena cuaca yang keras ini.

Kondisi ini bahkan membentuk gaya hidup khas. Anak muda Surabaya cenderung memilih pakaian dengan bahan adem, menjadikan mall dan café ber AC sebagai pelarian, dan mengatur waktu nongkrong lebih banyak di sore atau malam hari. Cuaca panas pada akhirnya bukan sekadar tantangan, tapi juga bagian dari identitas yang memengaruhi budaya anak muda di kota ini.

Halaman: