
Zetizen - Buat banyak anak muda, sekolah itu lebih dari sekadar tempat belajar matematika, IPA atau bahasa. Sekolah juga jadi ruang besar di mana identitas terbentuk, persahabatan terjalin, sampai gengsi diuji.
Di sinilah kita sering nemuin berbagai cara siswa mengekspresikan dirinya ada yang lewat gaya berpakaian rapi meski seragam sederhana, ada yang pamer gadget terbaru di kelas, dan belakangan muncul fenomena baru yang bikin heboh anak sekolah datang dengan kendaraan pribadi.
Fenomena ini makin sering muncul di timeline medsos dan jadi bahan perbincangan. Bayangin aja, anak SMP yang notabene masih belia, udah pede masuk sekolah sambil ngegas motor atau bahkan duduk manis di balik setir mobil.
Bagi sebagian orang, pemandangan ini terlihat keren sekaligus menandakan kemandirian. Tapi buat yang lain, justru bikin sekolah kayak berubah fungsi jadi ajang show off kendaraan.
Lalu, kenapa hal kayak gini bisa jadi tren? Apakah memang murni soal kebutuhan transportasi, atau lebih ke pencarian status sosial di antara teman sebaya? Dan yang nggak kalah penting, apa dampak dari fenomena ini buat dunia sekolah dan kehidupan remaja secara umum? Yuk, kita bahas lebih dalam.
Fenomena yang Makin Marak
Kalau dulu anak SMP identik dengan jalan kaki bareng temen atau diantar orang tua, sekarang pemandangannya beda. Ada yang udah biasa datang ke sekolah dengan kendaraan sendiri.
Entah alasannya karena rumah jauh, orang tua sibuk atau biar nggak repot nunggu jemputan, intinya kendaraan pribadi dianggap solusi cepat. Tapi, di balik alasan praktis itu, nggak bisa dipungkiri ada rasa bangga tersendiri saat bisa tampil beda dari teman-teman lain.
Di sinilah muncul pertanyaan apakah bawa kendaraan itu murni kebutuhan atau justru bagian dari tren sosial yang berkembang? Karena nggak jarang juga, kendaraan dijadikan simbol status sosial. Semakin “wah” kendaraan yang dibawa, semakin besar pula spotlight yang didapat di lingkungan sekolah.
Gaya atau Cuma Kebutuhan?
Buat sebagian siswa, kendaraan memang penting supaya nggak telat masuk sekolah. Tapi kalau ditelusuri lebih jauh, ada juga yang sekadar mau tampil keren dan dilihat sebagai “anak gaul.” Kendaraan jadi semacam aksesoris yang melengkapi citra diri. Sayangnya, hal ini bisa memunculkan kesenjangan sosial yang nggak sehat. Teman-teman yang nggak punya akses ke kendaraan pribadi bisa merasa minder atau tersisih.
Padahal, sekolah harusnya jadi ruang setara. Tempat semua siswa punya kesempatan yang sama tanpa harus dibandingkan dari sisi materi atau fasilitas yang mereka punya. Ketika kendaraan berubah jadi ajang show off, nilai kebersamaan itu bisa terkikis pelan-pelan.
Risiko yang Terabaikan
Hal yang sering nggak disadari adalah soal keamanan. Anak SMP jelas masih di bawah umur buat punya SIM. Artinya, membawa kendaraan di jalan raya bukan hanya melanggar aturan, tapi juga berbahaya. Banyak kasus kecelakaan terjadi karena pengendara belum siap secara mental maupun pengalaman.
Parahnya lagi, ada orang tua yang justru bangga anaknya bisa membawa kendaraan sendiri ke sekolah. Padahal, tanpa bekal yang cukup, risiko yang ditanggung anak jauh lebih besar daripada rasa dewasa yang coba ditunjukkan. Fenomena ini bukan cuma soal show off, tapi juga soal keselamatan yang harus jadi perhatian utama.
Peran Sekolah dan Lingkungan
Sekolah seharusnya jadi pihak yang paling tegas menyikapi fenomena ini. Aturan larangan membawa kendaraan sendiri biasanya sudah ada, tapi penerapannya sering longgar. Akhirnya, siswa merasa bebas melanggar tanpa konsekuensi berarti. Di sinilah sekolah harus lebih konsisten.
Selain menegakkan aturan, sekolah juga bisa memberikan edukasi tentang pentingnya keselamatan berkendara dan alasan kenapa ada batasan usia untuk punya SIM. Dengan pendekatan ini, siswa nggak cuma dilarang, tapi juga diberi pemahaman bahwa keselamatan mereka jauh lebih penting daripada gengsi sesaat.
Balik ke Diri Kita Sendiri
Pada akhirnya, fenomena ini bukan sekadar tentang kendaraan, tapi tentang cara kita memandang status sosial dan identitas diri. Apakah benar kendaraan bisa bikin kita lebih dihargai? Atau malah jadi bumerang karena menunjukkan sesuatu yang belum waktunya?