Are You a Zetizen?
Show Menu

Pramodya Ananta Toer, Sastrawan yang Nggak Pernah Lelah Menulis

Afrieza Zaqi Afrieza Zaqi 06 Feb 2017
Pramodya Ananta Toer, Sastrawan yang Nggak Pernah Lelah Menulis

Zetizen.com – Siapa tokoh pada doodle Google hari ini? Dia adalah Pramodya Ananta Toer, seorang legenda dalam dunia Sastra Indonesia yang selalu berani mengkritik pemerintah lewat karya tulisnya. Meski sudah meninggal pada 2006, kenapa Pram, sebutan akrabnya, sangat dikenal di dunia Sastra hingga sekarang? 

‘‘Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.’’

- Pramodya Ananta Toer

Latar Belakang Penuh Perjuangan

Ayah Pram adalah seorang kepala sekolah milik pergerakan, Boedi Oetomo, di Blora. Dia sangat kecewa karena anaknya tidak naik kelas sampai tiga kali. Padahal, sang ayah memprediksi Pram menjadi anak yang sangat pandai. Selain itu, ibunda Pram, Oemi Saidah, meninggal saat Pram berusia 17 tahun. Saking sayangnya, Pram menjuluki ibunya sebagai ‘‘wanita satu-satunya di dunia yang kucintai dengan tulus.’’ Kasih sayang Pram kepada sang ibu menjadi ukurannya menilai setiap wanita.

Menimba Ilmu ke Surabaya

Meski dilarang sang ayah untuk sekolah lagi, Pram keukeuh menimba ilmu. Dengan bantuan ibunya yang kala itu berjualan, Pram bisa kuliah di kejuruan radio di Surabaya. Di sana, dia belajar banyak tentang menulis dan berpikir kritis. Dia juga sempat menjadi peserta pertukaran budaya ke Belanda. Saat kembali, dia bergabung dengan Lekra. Dari sinilah dia menjadi orang yang berani mengkritik pemerintahan.

Pram (Foto: selancar)

Berulang Kali ditahan Pemerintah

Beberapa orang mungkin akan deperesi kalau ditahan. Tapi, Pram nggak seperti itu. Pria kelahiran Blora 1925 ini sudah kenyang ditahan pemerintah. Pram ditahan total 18 tahun. Dia pun dilarang menulis selama dalam masa tahanan. Meski begitu, Pram tetap menyiapkan kerangka karyanya. Salah satunya adalah buku tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) yang disiapkan saat dia ditahan di Pulau Buru.

Hampir Meraih Nobel Sastra

Tetralogi buku itu melegenda dan menjadi karyanya yang paling sukses. Dalam buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer, disebutkan bahwa Pram nyaris mendapatkan Nobel Sastra pada 2004 dan 2005. Ini merupakan mimpi yang sangat diidamkan Pram. Sayangnya, hasil translate yang kurang bagus membuat kekuatan karyanya berkurang dan gagal menyabet Nobel Sastra.

Tetap Menulis Meski Berusia 70-an

Dengan usia yang tebilang lanjut, Pram masih rajin menuliskan isi pikirannya. Misalnya, Panggil Aku Kartini Saja (2003), Jang Sudah Hilang (2004), dan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2006). Dengan tambahan tiga buku itu, total buku yang sudah ditulis Pram adalah 41 buku dari 1950 sampai 2006.

Editor: Ratri Anugrah

 

RELATED ARTICLES

Please read the following article